Rabu, 18 Januari 2017

PESANTREN SEBAGAI SALAH SATU PILAR BANGSA DAN NEGARA



MAKALAH
 “PESANTREN SEBAGAI SALAH SATU PILAR BANGSA DAN NEGARA”
(Makalah ini disusun sebagai pengganti Ujian Akhir Semester mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kwarganegaraan)





Dosen Pembimbing :
Wiwin Fachrudin Yusuf, S.Ag., MA

Disusun Oleh :
Fitri Nur Islamiyah      (201686010028)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN
2017

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat taufik serta hidayah-Nya sehingga terwujud makalah yang bertemakan “Bela Negara dalam Perspektif Islam” yang berjudul (Pesantren Sebagai Salah Satu Pilar Bangsa dan Negara). Kami juga  berterima kasih kepada Bapak Wiwin Fachrudin Yusuf, S.Ag., MA  selaku Dosen pembimbing kami.
Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam menambah wawasan serta pengetahuan yang lebih mendalam. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta banyak kekurangannya, baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal segi lainnya. Oleh karena itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Untuk itu harapan besar jika adanya kritik, saran dan juga usulan yang membangun demi sempurnanya makalah yang telah di buat di masa yang akan datang karena tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa adanya kritik dan juga saran yang membangun.
Makalah ini disusun sebagai penganti Ujian Akhir Semester mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kwarganegaraan. Semoga Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang selalu memberikan petunjuk kepada kita dalam pembuatan generasi yang berakhlakul karimah, cinta bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Amiin.


Sengonagung, 19 Januari 2017

Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pesantren merupakan salah satu pilar bangsa dan negara yang merupakan pusat pendidikan islam. Yang memiliki peran yang sangat penting dalam bangsa Indonesia ini. Pendidikan Pesantren Islam, dalam pertumbuhan spiritual dan moral akan mampu menolong individu menguatkan iman, akidah, dan pengenalan terhadap Allah SWT, melalui hukum, moral dan ajaran agama, dengan demikian peserta didik dalam melaksnakan tuntunan iman kepada Allah SWT dan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran agama dan nilainya dalam kehidupan pada tingkah lakunya, dan hubungannya dengan Allah SWT dengan sesama manusia dan seluruh makhluk, akan mempertegas pentingnya pendidikan akhlak dan spiritualitas dalam menyongsong globalisasi.
Peran pesantren dalam pendidikan bangsa merupakan pilar utama pembangunan bangsa. Karena pendidikan sangatlah penting untuk menuju bangsa yang kuat, damai dan juga mampu menumbuhkan sikap toleransi. Karena itu adalah suatu keniscayaan bila pemerintah dan masyarakat memprioritaskan pembangunan bidang pendidikan secara menyeluruh.
B.     Rumusan Masalah
a.       Mengapa Pesantren Sebagai Pilar Bangsa dan Negara ?
b.      Apa saja Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren ?
c.       Mengapa Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam yang Bermutu ?
d.      Kemandirian apa saja yang ada di Pesantren ?
e.       Apa saja Pendidikan Karakter Nasional Bangsa dan Negara?
C.    Tujuan Penulisan
a.       Untuk mengetahui dan mengidentifikasi apa saja peran Pesantren dalam membela bangsa Indonesia
b.      Untuk mengetahui pendidikan yang berada di Pondok Pesantren sebagai bela Negara


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pesantren Sebagai Pilar Bangsa dan Negara
Pesantren merupakan sebuah kehidupan yang unik, dan dari sisi lokasinya, dapat dikatakan bahwa pesantren adalah sebuah kompleksitas lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Ini bisa kita buktikan bahwa bangunan pesantren berdiri dalam lokasi yang tertutup.[1]
Seperti yang telah dijelaskan oleh Abdurrahman Wahid, yang sekaligus menjadi pembuka dalam wacana buku ini, bahwa pondok pesantren dalam bacaan teknis merupakan suatu tempat yang dihuni oleh para santri. Sistem pendidikan yang digunakan lebih kurang mirip dengan sistem yang digunakan oleh sebuah akademi militer, di mana yang terjadi adalah integralisasi antara lingkungan dan substansi pendidikan yang diajarkan.[2]
Pesantren adalah pusat (centre) pendidikan agama Islam dengan pengajian kitab-kitab klasik sebagai materi belajarnya. Pengasuhnya adalah seorang kiai sebagai figur sentral, atau dewan guru di bawah kiai dengan ukuran keahliannya menguasai bidang materi tertentu. Dalam hal kajian, materi yang bercorak klasik adalah yang paling menentukan karakter pesantren. Kajian tersebut meliputi kitab-kitab klasik atau kitab kuning warisan pemikir terdahulu. Kitab tersebut berfungsi sebagai dokumentasi perpustakaan khasanah ke-Islaman.[3]
Pesantren sebagai salah satu "warisan" lembaga pendidikan Islam tertua dan asli Indonesia (indigenous) memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan bangsa. Sudah sejak awal berdirinya, pesantren selalu terlibat dalam persoalanpersoalan kebangsaan. Melalui kepemimpinan para ulama/kyai yang memiliki kekuatan spiritual, iman yang teguh, keikhlasan berjuang, dan ketangguhan moral, pesantren-pesantren yang tersebar di pedesaan-pedesaan telah berperan besar dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia dari upaya pemecah-belahan penjajah. Peran dan posisi seperti itu akan terus berjalan dan dilakukan oleh para ulama sebagai perwujudan kecintaan pada tanah air, kesadaran akan perlunya kedamaian dan perdamaian, kesetaraan nilai-nilai kemanusiaan, dan komitmen pada keutuhan negara Indonesia sebagai bangsa yang besar, luas, dan bermartabat.
Pertemuan pimpinan Pondok Pesantren ini kami nilai sangat penting bila dikaitkan dengan kondisi kebangsaan kita saat ini. Perkembangan demokrasi, penegakan hak-hak asasi manusia, dan kemajuan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan patut kita lihat sebagai sebuah proses menuju perbaikan. Namun, kemajuan itu tidak boleh melenakan kita bahwa hingga hari ini Indonesia masih dililit oleh persoalan-persoalan krusial yang tak kunjung menemukan titik penyelesaian. Merosotnya nilai-nilai moral, mulai kendornya semangat persatuan dan kesatuan bangsa, serta menguatnya kecenderungan sebagian kelompok masyarakat untuk menyelesaikan masalah dengan "jalan pintas" adalah beberapa indikator merosotnya nilai-nilai kebangsaan yang dulu kita banggakan. Sungguh memprihatinkan bahwa merosotnya nilai-nilai kebangsaan itu dengan cepat menjangkiti berbagai lapisan masyarakat. Kondisi tersebut bila tidak segera dicarikan solusinya, pasti akan mengarah pada timbulnya disintegrasi bangsa dan runtuhnya sendi-sendi bangsa. Pada tataran. inilah peran pesantren dan para kyai/ulama sangat diharapkan karena pesantren diakui sebagai "penjaga moral" dan garda terdepan untuk memperkuat sendi-sendi kebangsaan.
Di Indonesia pendidikan agama Islam merupakan sub sistem dari pendidikan nasional, untuk itu tujuan yang akan dicapai sebenarnya merupakan pencapaian dari salah satu atau beberapa aspek dari tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan Islam diakui keberadaannya dalam system pendidikan nasional, yang dibagi kepada tiga hal. Pertama pendidikan Islam sebagai lembaga, kedua pendidikan islam sebagai mata pelajaran, dan ketiga pendidikan Islam sebagai nilai (value­).[4]
Pembinaan pendidikan agama secara formal institusional dipercayakan kepada departemen agama dan departemen pendidikan dan kebudayaan. Kemudian dua departemen ini mengeluarkan peraturan-peraturan bersama. Pada bulan Desember 1946 adalah pertama kali adanya dualisme pendidikan di Indonesia. Selanjutnya Pendidikan Agama ini di atur secara khusus dalam UU Nomor 4 tahun 1950 pada Bab XII pasal 20, yaitu:
1. Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
2. Cara penyelenggaraan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh menteri pendidikan pengajaran dan kebudayaan, bersama-sama dengan menteri agama.[5]
Sejalan dengan Undang-Undang pendidikan tahun 1989, madrasah juga harus menerapkan kurikulum nasional 1994 yang ditetapkan oleh departemen Pendidikan dan kebudayaan.[6]
Peraturan Bersama Menteri PP dan K dan Menteri Agama Nomor: 1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan), Nomor K 1/652 tanggal 20 januari 1951 (Agama), diatur tentang peraturan Pendidikan Agama di sekolah-sekolah.[7]
Madrasah di Indonesia adalah merupakan perpaduan antara pesantren dan sekolah. Ada unsur madrasah yang diambil dari pesantren dan ada pula dari sekolah.[8]
Salah satu hal penting dan perlu disimak dalam sejarah perkembangan penyelenggaraan sekolah-sekolah agama ialah lahirnya Keppres No. 34 tahun 1974 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan serta Inpres no. 15 tahun 1974 tentang pelaksanaan Keppres No. 34 tahun 1974. Didalamnya dinyatakan antara lain sebagai berikut:
a. Pembinaan pendidikan Umum adalah Tanggung jawab menteri P & K sedang pendidikan agama menjadi tanggung jawab Menteri Agama
b. Untuk melaksanakan Keppres No. 34 dan Inpres No. 15 tahun 1974 dengan sebaik-baiknya perlu ada kerjasama antara Departemen P & K, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama.[9]
Adapun tujuan pendidikan agama Islam secara garis besar pada dasarnya adalah untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan YME, dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.[10]
Tujuan nasional bangsa Indonesia adalah seperti yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut:
“Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.[11]
Sedangkan tujuan pendidikan nasional sebagian yang tercantum dalam UU No.II/ 1989, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadan mantap serta bertanggng jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Karena dengan tercapainya tujuan tersebut akan menunjang pencapaian tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan..[12]
Visi dari pendidikan Islam tentunya sejalan dengan visi pendidikan nasional, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang bertaqwa dan produktif sebagai anggota masyarakat Indonesia yang berbhineka.[13] Sedangkan misi pendidikan Islam sebagai perwujudan dari visi tersebut adalah mewujudkan nilai-nilai keislaman di dalam pembentukan manusia Indonesia, yaitu manusia yang saleh dan produktif. Karena dengan misi tersebut pendidikan Islam menjadi pendidikan alternatife. Disebut pendidikan Islam karena mempunyai tiga ciri-ciri khas sebagai berikut:
1) Suatu system pendidikan yang didirikan karena didorong oleh hasrat untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam.
2) Suatu system yang mengajarkan ajaran Ialam.
3) Suatu system pendidikan Islsm yang meliputi kedua hal tersebut.[14]
Tetapi keberadaan pendidikan Islam tidak sekedar menyangkut persoalan cirri khas, melainkan lebih mendasar lagi yaitu tujuan yang diidamkan dan diyakini sebagai yang paling ideal. Tujuan itu sekaligus mempertegas bahwa misi dan tanggung jawab yang diemban pendidikan Islam lebih berat lagi. Ketiganya itu selama ini tumbuh dan berkebang di Indonesia dan sudah menuju bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan pendidikan nasional. Bahkan tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kehadiran dan keberadaannya merupakan bagian dari andil umat Islam dalam perjuangan maupun mengisi kemerdekaan.
Di Indonesia pendidikan Islam ini tampil dalam berbagai macam wujud yaitu pendidikan agama Islam ( PAI ) yang merupakan substansi dari system pendidikan agama dalam kurikulum nasional, pendidikan di madrasah yang merupakan sub system dari system pendidikan foemal, pendidikan pesantren yang merupakan sub system dalam pendidikan non formal.
Sebagai subsistem, pendidikan Islam mempunyai tujuan khusus yang harus dicapai, dan tercapainya tujuan tersebut akan menunjang pencapaian tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan yang menjadi suprasistemnya.[15] Visi pendidikan Islam tentunya sejalan dengan visi pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan manusia Indonesia yang takwa dan produktif sebagai anggota masyarakat Indonesia yang bhinneka.
Sedangkan misi pendidikan Islam sebagai perwujudan visi tersebut adalah mewujudkan nilai-nilai keislaman di dalam pembentukan manusia Indonesia. Manusia Indonesia yang dicita-citakan adalah manusia yang saleh dan produktif. Hal ini sejalan dengan trend kehidupan abad 21, agama dan intelek akan saling bertemu.[16]
B.     Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren
Pesantren sebagai salah satu sub sistem Pendidikan Nasional yang indigenous Indonesia, mempunyai keunggulan dan karakteristik khusus dalam mengaplikasikan pendidikan karakter bagi anak didiknya (santri).
Hal itu dikarenakan :
a.       Adanya Jiwa dan Falsafah.
Pesantren mempunyai jiwa dan falsafah yang ditanamkan kepada anak didiknya. Jiwa dan falsafah inilah yang akan menjamin kelangsungan sebuah lembaga pendidikan bahkan Menjadi motor penggeraknya menuju kemajuan di masa depan.
Ada Panca Jiwa yang terdiri dari :
1.      Keikhlasan
2.      Kesederhanaan
3.      Kemandirian
4.      Ukhuwah Islamiyah dan
5.      Kebebasan dalam menentukan lapangan perjuangan dan kehidupan
Panca jiwa ini menjadi landasan ideal bagi semua gerak langkah pesantren.
Pesantren juga mempunyai falsafah yang menjadi mutiara hikmah bagi seluruh penghuni pesantren.
Diantaranya ada Falsaafah kelembagaan, seperti :
1.      Pondok adalah lapangan perjuangan, bukan lapangan penghidupan.
2.      Hidupilah Pondok, dan jangan menggantungkan hidup kepada Pondok.
3.      Pondok adalah tempat ibadah dan thalabul ‘ilmi.
4.      Pondok berdiri di atas dan untuk semua golongan.
Berikutnya adalah falsafah pendidikan, seperti :
1.      Apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dikerjakan oleh santri sehari-hari adalah pendidikan
2.      Hidup sekali, hiduplah yang berarti.
3.      Berani hidup tak takut mati, takut mati, jangan hidup, takut hidup mati saja.
4.      Berjasalah, tetapi jangan minta jasa.
5.      Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.
6.      Hanya orang penting yang tahu kepentingan, dan hanya pejuang yang tahu arti perjuangan.
Sedang diantara falsafah pembelajarannya adalah :
1.      Metode lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode, jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri.
2.      Pondok memberikan kail, tidak memberi ikan.
3.      Ujian untuk belajar, bukan belajar untuk ujian.
4.      Ilmu bukan untuk ilmu, tetapi ilmu untuk amal dan ibadah.
b.      Terwujudnya Integralitas dalam Jiwa, Nilai,v Sistem dan Standar Operasional Pelaksanaan.
Terciptanya integralitas yang solid pada jajaran para pendidik hingga anak didik, terhadap pemahaman jiwa, nilai, visi, misi dan orientasi, sistem hingga standar operasional pelaksanaan yang sama.
Transformasi nilai-nilai pendidikan pesantren yang berlangsung sepanjang tahun, melalui berbagai sarana (lisan, tulisan perbuatan dan kenyataan), telah mampu memadukan seluruh komponen pesantren dalam satu barisan. Sehingga tidak terjadi tarik-menarik kepentingan dan orientasi antara satu pihak dengan lainnya. Semuanya melandasi gerak langkahnya dengan bahasa keikhlasan, kesederhanaan, kesungguhan, perjuangan dan pengorbanan untuk menggapai ridha Allah.
Semua mempunyai pengertian dan keterpanggilan akan tanggungjawab untuk merealisasikan visi dan misi pendidikan pesantrennya. Semua mempunyai keterikatan pada sistem hingga kultur yang sudah terbentuk di pesantren. Karena mereka semua mempunyai kesadaran, keterpanggilan dan loyalitas baik kepada nilai, sistem maupun pemimpin. Soliditas ini menumbuhkan kekuatan yang dahsyat dalam proses pendidikan karakter di pesantren.
Terciptanya Tri Pusat Pendidikan yang Terpadu. Keberhasilan pendidikan tidak terlepas dari tiga faktor yang saling menopang dan mendukung, yaitu pendidikan sekolah, pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat, yang semua itu harus mendapat dukungan dari Pemerintah. Bila di luar lingkungan pendidikan pesantren hal ini sulit direalisasikan secara ideal dan optimal, alhamdulillah di pesantren, ketiga faktor pendidikan ini dapat dipadukan.
Para santri hidup bersama dalam asrama yang padat kegiatan dan berdisiplin, dibawah bimbingan para guru dan pengasuh.  Integralitas Tri Pusat Pendidikan membantu terwujudnya integralitas kurikulum antara intra, co dan ekstra kurikuler yang saling menguatkan. Juga mewujudkan Integralitas ilmu pengatahuan, antara ilmu agama dan pengetahuan umum yang tidak terdikotomikan, serta menciptakan integralitas antara ilmu dan amal dalam kehidupan.
 Totalitas Pendidikan. Pesantren menerapkan totalitas pendidikan dengan mengandalkan keteladanan, penciptaan lingkungan dan pembiasaan melalui berbagai tugas dan kegiatan. Sehingga seluruh apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh santri adalah pendidikan. Selain menjadikan keteladanan sebagai metode pendidikan utama, penciptaan miliu juga sangat penting.
Lingkungan pendidikan itulah yang ikut mendidik. Penciptaan lingkungan dilakukan melalui
1.      Penugasan
2.      Pembiasaan
3.      Pelatihan
4.      Pengajaran
5.      Pengarahan
6.      Keteladanan
Semuanya mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam pembentukan karakter anak didik. Pemberian tugas tersebut disertai pemahaman akan dasar-dasar filosofisnya, sehingga anak didik akan mengerjakan berbagai macam tugas dengan kesadaran dan keterpanggilan.
Setiap kegiatan mengandung unsur-unsur pendidikan, sebagai contoh dalam kegiatan kepramukaan, terdapat pendidikan kesederhanaan, kemandirian, kesetiakawanan dan kebersamaan, kecintaan pada lingkungan dan kepemimpinan.
Dalam kegiatan olahraga terdapat pendidikan kesehatan jasmani, penanaman sportivitas, kerja sama (team work) dan kegigihan untuk berusaha.
Pengaturan kegiatan dalam pendidikan Pesantren ditangani oleh Organisasi Pelajar yang terbagi dalam banyak bagian, sepertti bagian Ketua, Sekretaris, Bendahara, Keamanan, Pengajaran, Penerangan, Koperasi Pelajar, Koperasi Dapur, Kantin Pelajar, Bersih Lingkunan, Pertamanan, Kesenian, Ketrampilan, Olahraga, Penggerak Bahasa, dll.
Kegiatan Kepramukaan juga ditangani oleh Koordinator Gerakan Pramuka dengan beberapa andalan; Ketua Koordinator Kepramukaan, Andalan koordinator urusan kesekretariatan, Andalan koordinator urusan keuangan, Andalan koordinator urusan latihan, Andalan koordinator urusan perpustakaan, Andalan koordinator urusan perlengkapan, Andalan koordinator urusan kedai pramuka, dan Pembina gugusdepan.
Pendidikan organisasi ini sekaligus untuk kaderisasi kepemimpinan melalui pendidikan self government. Sementara itu pada level asrama ada organisasi sendiri, terdiri dari ketua asrama, bagian keamanan, penggerak bahasa, kesehatan, bendahara dan ketua kamar. Setiap club olah raga dan kesenian juga mempunyai struktur organisasi sendiri, sebagaimana konsulat (kelompok wilayah asal santri) juga dibentuk struktur keorganisasian. Seluruh kegiatan yang ditangani organisasi pelajar ini dikawal dan dibimbing oleh para senior mereka yang terdiri dari para guru staf pembantu pengasuhan santri, dengan dukungan guru-guru senior yang menjadi pembimbing masing-masing kegiatan. Secara langsung kegiatan pengasuhan santri ini diasuh oleh Bapak Pimpinan Pondok yang sekaligus sebagai Pengasuh Pondok.
Pengawalan secara rapat, berjenjang dan berlapis-lapis ini dilakukan oleh para santri senior dan guru, dengan menjalankan tugas pengawalan dan pembinaan, sebenarnya mereka juga sedang melalui sebuah proses pendidikan kepemimpinan, karena semua santri, terutama santri senior dan guru adalah kader yang sedang menempuh pendidikan. Pimpinan Pondok membina mereka melalui berbagai macam pendekatan; 
1.      Pendekatan program
2.      Pendekatan manusiawi (personal) dan
3.      Pendekatan idealisme.
C.    Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam yang Bermutu
Kebijakan dan program-program Departemen Agama dalam rangka mengembangkan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang bermutu mengacu pada tiga pilar pembangunan pendidikan nasional. Pada pilar pertama yaitu perluasan dan pemerataan akses, memberikan kesempatan kepada pesantren-pesantren untuk mengembangkan lembaga pendidikannya sehingga bisa menampung banyak santri (peserta didik), terutama dalam rangka menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.
Pada pilar kedua yaitu peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan, menghasilkan lulusan pesantren yang setara dengan sekolah maupun madrasah, serta memiliki kemampuan-kemampuan seperti yang diatur oleh undang-undang tanpa mengurangi khittah asli pesantren. Khittah pesantren adalah santrinya mampu mendalami ilmu-ilmu keislaman. Santri di samping mendalami ilmu-ilmu keislaman kalau ingin disetarakan dengan lulusan sekolah atau madrasah, maka harus mengikuti kurikulum-kurikulum tertentu yang didalamnya terdapat keterampilan atau kemampuan yang harus dimiliki.
Agar pesantren memperoleh pengakuan kesetaraan dengan lulusan madrasah atau sekolah diberikan sertifikat atau syahadah. Agar syahadah nanti diperoleh lulusan pesantresn diakui sama, maka bukan hanya kurikulum saja, tetapi standar-standar yang ditetapkan oleh pemerintah harus diikuti. Pilar ketiga yaitu peningkatan tata kelola, akuntabilitas, transparansi, dan pencitraan publik, pesantren jangan tergantung kepada orang tetapi kepada suatu sistem. Artinya, tidak tergantung kepada seorang kiyai yang biasanya menjadi pemimpin pesantren. Jika kiyai itu mundur atau meninggal, maka tidak ada penerusnya.
Keadaan seperti ini akan menjadikan pesantren mengalami kemunduran. Namun jika tergantung pada sistem, hal seperti ini tidak akan terjadi, karena jika kiyai yang menjadi pengelola pesantren itu mundur atau meninggal, maka masih ada yang akan mengelolanya yaitu orang-orang yang sudah ditentukan. Oleh karena itu di pesantren pun diperlukan manajemen. Dalam manajemen ada ungkapan getting thing done threw to other, membuat sesuatu selesai melalui orang lain. Jadi kalau seseorang ingin membuat sesuatu itu selesai, bukan orang itu yang akan mengerjakannya tetapi orang lain. Kalau orang itu yang mengerjakannya, bukan manajemen namanya tetapi pekerja biasa.
Pesantren memiliki tiga elemen penting yaitu :
  1. Pola kepemimpinan yang tidak terkooptasi oleh negara.
  2. Kitab-kitab rujukan yang selalu digunakan dari berbagai abad.
  3. Sistem nilai (value system) yang mengacu pada sistem nilai yang berkembang di dalam masyarakat itu sendiri.
Inilah yang menjadi pembeda penting dan tersendiri dengan sekolah-sekolah umum yang ada, di mana acap terjadi polarisasi yang tajam antara realitas dan materi pendidikan yang diajarkan.
Pendidikan agama dalam lingkup pendidikan nasional, meliputi :
1) Persepsi ilmuan kita tentang arti pendidikan, misalnya: ditetapkan dalam UU No. II/1989 tersebut mengandung implikasi yang lebih komprehensif ketimbang arti pengajaran. Sehingga pendidikan menurut pasal 1 ayat 1, diberi arti usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan bagi perannya dimasa yang akan datang. Jadi dapat dijelaskan pendidikan mencakup proses kegiatan pengajaran disamping bimbingan dan latihan. Lebih diorentasikan kemasa depan, yang mana fenomenanya tidak lain adalah pencerminan betapa pentingnya penguasaan dan pemanfaatan, kemajuan iptek bagi pembangunan bangsa.[17]
2) Tentang batasan pengertian pendidikan agama, pendidikan agama dapat dirumuskan sebagai bantuan dan bimbingan pada perkembangan pribadi anak agar ia menjadi manusai yang beragama, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tampak dalam cara berfikir kebiasaan, sikap dan bertingkah laku.[18] Jadi proses kependidikan agama ialah menanamkam atau mempribadikan tata nilai keagamaan. Dalam hal ini mengacu kepada keimanan dan ketaqwaan (sebagai pondasi dasar yang tak tampak atau rahasia) yang mendorong dalam proses kegiatan perilaku dan mewujudkan dalam akhlakkul karimah didalam bidang kehidupan.
3) Tentang kompetensi guru sesuai dengan ketentuan pasal 39 ayat 2: “Pendidik merupakan tenaga profesiona yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada Perguruan Tinggi.” Dan persyaratan pokok untuk pengangkatannya yang antara lain harus beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME adalah merupakan suatu keharusan yang mutlak dan mencegah orang-orang yang anti Tuhan dari anak/ generasi bangsa yang berfalsafah Pancasila. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam pelaksanaannya pendidik agama pada khususnya ini menjiwai guru, dan guru wajib memiliki keyakinan agama sehingga bidang-bidang studi yang lainnya tidak terlepas dari nilai agama.[19] Oleh karena itu peranan guru amat besar.
4) Mengenai tujuan pendidikan nasional, sebagian tercantum dalam UUSPN No. II tahun 1989 bab 2 pasal 4, menyebutkan : “ Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.’’
5) Tentang sistem pendidikan nasional seperti yang dikehendaki oleh UU No. II/ 1989 itu, terdapat berbagai satuan, jalur dan jenis pendidikan ( diperinci dalam bab 4 ). Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan dalam menghadapi perubahan kehidupan, sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan.[20]
D.    Kemandirian Pesantren
Meningkatkan kemandirian pesantren berarti meningkatkan pesantren dalam ikut membangun bangsa dan ikut memperkokoh rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa. Pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pesantren yang dulunya suatu model pendidikan yang digunakan oleh agama lain yaitu Budha, di mana orang-orang yang ingin mempelajari agama tinggal di suatu tempat yang dekat dengan tokoh agamanya sehingga bisa dibina secara intelektual maupun moral. Kemudian ketika datang agama Islam dan meneruskan tradisi seperti itu tetapi ajarannya yang berbeda. Ini adalah cara yang paling efektif di dalam mendidik manusia.
Ada beberapa ciri khas dari sebuah pesantren yaitu pertama, adanya pondok. Istilah pesantren sering disebut dengan pondok pesantren. Sebutan pondok berasal dari bahasa Arab yaitu fundug yang berarti asrama atau hotel. Disebut pondok karena di pesantren tersebut para santrinya bermukim atau menetap. Mereka menjalani kehidupan sehari-harinya di pondok tersebut. Namun ada pula santri tidak menetap di pondok/asrama yang sering disebut dengan santri kalong dan santri kelana. Santri kalong biasanya datang ke pesantren ketika akan belajar/ngaji saja kemudian pula ke tempat tinggalnya. Santri kelana adalah santri yang berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya untuk belajar/ngaji.
Mereka menetap di pondok agar lebih memusatkan perhatiannya dalam mempelajari kitab-kitab. Para santri pun ingin merasakan kehidupan pesantren di sekitar kiyainya. Selain itu, pesantren berada pada tempat yang jauh dari tempat tinggal santri, biasanya pesantren itu berada di pedesaan. Ciri kedua, adanya kiyai yaitu gelar kehormatan untuk orang ahli agama sekaligus mempunyai dan memimpin pesantren. Namun ada pula tahapan yang harus ditempuh oleh seseorang agar bisa dijadikan kiyai, yaitu dari santri muda, santri senior, asatid/guru, ustadz muda, ustadz senior, kiyai muda, dan kiyai senior. Ketiga, adanya masjid. Masjid sebenarnya merupakan pusat segala kegiatan.
Masjid bukan hanya sebagai pusat ibadah khusus seperti shalat dan i’tikaf tetapi sebagai tempat untuk menegakkan syariat Islam, untuk da’wah, pengajaran memperluas wawasan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan/muamalat. Masjid untuk mencetak umat yang beriman, beribadah menghubungkan jiwa dengan khaliq, umat yang beramal shaleh dalam kehidupan masyarakat, pembentukan nilai-nilai akhlak yang mulia dan amaliah, menggerakkan potensi kekuatan umat lahir dan batin.
Masjid faktor penting bagi pembentukan masyarakat Islam kuat dan rapi dengan adanya komitmen terhadap sistem, aqidah, dan tatanan Islam. Keempat, dipelajarinya kitab-kitab klasik, diantaranya yang dikenal dengan kitab kuning. Disebut kitab kuning karena kertas yang digunakan kitab-kitab pada saat itu dominannya berwarna kuning. Selain memiliki ciri khas, pesantren pun melakukan pengajaran dengan metode khusus.
Metode pengajaran di pesantren dikenal dengan sistem sorogan, khalaqah, atau kelas musyawarah. Sorogan merupakan metode pengajaran yang bersifat individual. Sorogan menekankan pada keaktifan santri untuk belajar penuh dengan kedisiplinan, ketaatan, atau kerajinan. Jika santri telah memahamni suatu materi pelajaran bisa secara aktif mengajukan diri untuk diperhatikan atau diuji oleh pengajarnya yaitu ustadz atau kiyainya. Metode lainnya adalah bandongan atau weton, yaitu santri tidak belajar individual tetapi berkelompok dalam jumlah yang banyak mendengarkan pengajar/ustadz yang membaca, menerjemahkan, mengulas, atau menerangkan kitab.
Khalaqah atau kelompok kelas merupakan cara belajar dalam bentuk kelompok-kelompok di kelas dipimpin oleh santri senior atau ustadznya. Sedangkan kelas musyawarah adalah cara belajar ynag sifatnya klasikal seperti diadakannya seminar.
Pesantren bukan hanya mendidik untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya saja, tetapi juga kemampuan-kemampuan lain, yaitu kemampuan emosional dan kemampuan spiritual, perilaku dan akhlak mulianya dididik melalui sistem pesantren. Ini adalah suatu cara atau metode pendidikan yang efektif dan bukan hanya dibuktikan oleh orang-orang Islam saja, melainkan orang-orang modern sudah mengikuti pola-pola seperti ini. Bahkan sekarang ada lembaga-lembaga pendidikan yang menerapkan pola seperti pesantren, di mana peserta didiknya tinggal di suatu tempat tetapi namanya diganti dengan nama lain, misalnya disebut dengan boarding school atau sekolah berasrama.
Jadi pesantren ini sebetulnya merupakan suatu lembaga pendidikan warisan nenek moyang bangsa Indonesia yang perlu dipertahankan karena mengandung nilai yang positif. Ternyata cukup efektif untuk membangun sumber daya manusia yang nanti bisa berperan di dalam pembangunan nasional.
Jika ditelusuri tentang keberadaannya, pesantren ini sebetulnya merupakan suatu lembaga yang bukan hanya suatu tempat seperti pada umumnya, tetapi semuanya didirikan oleh masyarakat. Pesantren itu biasanya dimiliki oleh kiyai atau oleh masyarakat yang berasal dari wakaf. Bahkan pada umumnya pesantren itu tidak ada yang pengelolaannya dibantu oleh negara, sehingga pesantren itu benar-benar suatu lembaga pendidikan yang mandiri, tetapi memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap pembangunan pendidikan di Indonesia. Sehingga menjadi konsep pendidikan yang dicanangkan oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi bidang pendidikan dan kebudayaan (UNESCO) yang memberikan imbauan dan anjuran bahwa setiap negara harus menerapkan atau melaksanakan pendidikan untuk semua (education for all).
Maksudnya adalah setiap warga negara usia sekolah seharusnya tidak boleh ada yang di luar sekolah atau madrasah. Penerapan education for all ini khusus untuk konteks negara Indonesia, sebagai salah satu anggota PBB, diterapkan dalam bentuk pendidikan wajib atau wajib belajar yang sedang diterapkan yaitu wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun. Jika merujuk pada pengertian wajib dalam agama, karena dikatakan wajib belajar, maka orang yang meninggalkan kewajibannya itu akan memperoleh siksa dari Allah swt. nantinya. Sedangkan bagi orang yang melaksanakannya akan memperoleh pahala. Kalau wajib belajar itu diterapkan, maka seharusnya setiap muslim wajib mengikuti pelajaran. Bahkan menurut ajaran Islam wajib belajar itu bukan hanya sembilan tahun, tetapi minal mahdi ilallahdi, dari buaian ibu sampai ke liang lahat (meninggal). Namun dalam konteks pendidikan formal di negara kita, wajib belajar itu sekurang-kurangnya masuk sekolah atau wajib hadir dan mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan baik itu sekolah, madrasah, atau pesantren.
Pesantren telah menunjukkan kiprahnya bahwa dia menyediakan lembaga pendidikan untuk orang-orang yang tidak bisa sekolah. Kalau kita melihat data statistik pada umumnya para santri ini adalah dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Umumnya yang menengah ke atas hanya sedikit yang mau masuk pesantren karena berbagai alasan. Hal ini terjadi karena pada umumnya di pesantren itu tidak pernah dipungut bayaran dan orang yang tidak mampu bisa memperoleh pendidikan dan bisa makan, yaitu dengan cara ikut bekerja membantu kiyainya seperti mengelola agribisnis atau peternakan.
Pesantren mempunyai peran yang cukup besar di dalam rangka memandirikan orang, dan juga memberikan kontribusi terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat kalau dikelola dengan baik. Misalnya, santri yang tidak punya biaya dia bisa belajar di pesantren. Untuk bekal keperluan hidupnya sehari-hari di pesantren dia bisa membantu kiyai yang kebetulan memiliki sawah, peternakan, atau usaha lain. Cara seperti ini terbukti berhasil untuk memandirikan pesantren dan santrinya. Sekarang pun pesantren yang dibina oleh pemerintah Departemen Agama mampu menyelenggarakan dan menghimpun keuntungan-keuntungan yang cukup besar dari usaha-usaha melalui kegiatan swadaya yang juga melibatkan mayarakat luas di sekitar pesantren dan menghasilkan keuntungan yang cukup besar bisa untuk membiayai kehidupan pesantren dan santrinya.
Pesantren sudah membuktikan bahwa sekarang bisa memberdayakan umat sebagai upaya mengisi kemerdekaan, setelah dahulu pun pesantren berperan memproklamasikan kemerdekaan. Jadi yang harus dilakukan supaya pesantren-pesantren yang jumlahnya cukup banyak adalah dengan pemberdayaan pesantren tersebut. Pemberdayaan yang dilakukan antara lain pertama, santri-santri yang punya kemampuan tinggi diberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia.
Santri-santri tersebut ternyata memperoleh hasil yang luar biasa baiknya sehingga menjadi sumber daya manusia yang bagus pula. Jadi kalau memang betul-betul mengelola pesantren dengan baik, maka akan menghasilkan sumber daya manusia yang baik pula. Sumber daya manusia inilah yang akan membuat Indonesia baru di masa yang akan datang. Mereka mempunyai kemampuan intelektual yang bagus, kemampuan keislaman yang bagus pula, dan insya Allah berakhlak mulia (akhlakul karimah). Kedua, pesantren melatih keterampilan-keterampilan tertentu kepada santrinya lalu menularkan keterampilan-keterampilan itu kepada pesantren lainnya, sehingga membentuk kelompok-kelompok yang nantinya bisa memberdayakan masyarakat sekitarnya.
Ketiga menjalankan program-program pemberdayaan yang dibina dan dibimbing oleh lembaga-lembaga pendidikan tinggi untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan santri dari aspek pengetahuan atau keterampilannya. Kemandirian yang ditunjukan pesantren ini menjadikannya tidak memiliki ketergantungan terhadap pemerintah. Kalaupun diberikan bantuan mereka akan mengelolanya dengan amanah.
Untuk mewujudkan pesantren yang mandiri dihadapkan pada suatu tantangan yang sangat berat seperti pada era globalisasi ini. Dunia sudah tidak ada batasan-batasan lagi. Pada awalnya globalisasi hanya pada beberapa aspek kehidupan saja yaitu food (makanan), fashion (pakaian), dan fun (hiburan). Makanan (food) yang biasa disantap oleh orang-orang di negara lain dengan mudah didapatkan di negara kita. Begitu pula gaya berpakaian yang dikenakan oleh orang-orang asing yang cenderung bebas dengan cepat ditiru oleh bangsa kita, terutama generasi muda yang memang menyukai gonta-ganti mode pakaian. Padahal tidak sedikit mode pakaian itu yang bertentangan dengan adat atau norma-norma yang berlaku di masyarakat atau ajaran-ajaran agama.
Tempat-tempat hiburan pun bisa ditemukan di mana-mana. Namun sekarang globalisasi sudah merambah ke berbagai aspek kehidupan terutama yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam dunia yang yang sudah global ini perubahan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan berlangsung sangat cepat karena pengaruh informasi yang datang silih berganti sehingga susah untuk dikendalikan. Perubahan-perubahan itu ada yang berdampak negatif ada pula yang positif. Dampak negatif ini dapat mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku peserta didik ke arah yang jelek yang bertentangan dengan agama. Misalnya, gaya hidup yang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran agama dan norma-norma di masyarakat. Dampak positifnya adanya kemajuan dalam bidang sains dan teknologi. Tantangan dan persaingan bukan hanya datang dari bangsa sendiri tetapi datang dari bangsa lain. Oleh karena itu, jika masih terkungkung dalam tradisi-tradisi konservatif, maka akan tertinggal.
Namun bukan berarti harus mengikuti semua kemajuan tesebut. Artinya santri-santri bukan hanya menguasai ilmu-ilmu keislaman yang diperoleh dan dikaji dari kitab-kitab kuning saja di pondok pesantren, tetapi juga diberikan keterampilan-keterampilan yang bersumber dari ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, asalkan tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
E.     Pendidikan Karakter Nasional Bangsa dan Negara
Kita menyadari bahwa pendidikan karakter dan moral sangat penting, dalam segala sektor kehidupan, kita membutuhkan moral dan akhlak karimah dalam berbangsa dan bernegara; ada etika bisnis, etika politik, etika kekuasaan dan etika pergaulan, dalam rangka membangun masyarkat madani yang adil dan makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
Karakter nasional bangsa yang merupakan kualitas kepribadian tangguh yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat luas, dan bermuara pada nilai-nilai inti (core values) seperti amanah, menghormati orang lain dan toleran, kejujuran, kasih sayang, tanggung jawab serta kewarganegaraan (sosial), harus dipelihara dan senantiasa direvitalisasi agar selalu bisa menjadi inspirasi, pengobar semangat dan mampu berfungsi sebagai human capital sebuah bangsa karena karakter nasional menentukan ketahanan nasional bangsa yang bersangkutan.
Untuk merealisasikan dan mengembangkan pendidikan karakter nasional bangsa ada beberapa hal yang memerlukan perhatian pemerintah dan masyarakat : yang pertama adalah penyiapan lembaga pendidikan yang berkualitas, kedua adalah penyiapan tenaga pendidik terutama para kepala sekolah yang mempunyai kapabelitas serta intergritas kepribadian tinggi dan yang ketiga adalah penciptaan lingkungan yang kondusif bagi pendidikan karakter anak bangsa.
Pertama penyiapan lembaga pendidikan yang berkualitas. Lembaga pendidikan yang mempunyai orientasi character building, mementingkan pendidikan yang integral, mengembangkan dan meningkatkan potensi anak didik dalam segala aspek kemanusiannya. Pendidikan yang berbasis nilai, melakukan transformasi kepribadian, akhlak, tingkah laku, pola fikir dan sikap. Bukan hanya mentransfer informasi dan pengetahuan semata (aspek kognitif) dengan melalaikan aspek afektif dan spikomotorik.
Kedua menyiapkan tenaga pendidik terutama kepala-kepala sekolah yang handal untuk merealisasikan tujuan yang ditargetkan. Tenaga pendidik merupakan ujung tombak bagi keberhasilan tujuan pendidikan. Tenaga pendidik dan kepala sekolah yang mencintai tugasnya, mempunyai ruh dan semangat idealisme tinggi, berdedikasi dan mempunyai integritas moral tangguh, mempunyai kecakapan menejerial dan mampu menjadi teladan dalam segala hal bagi anak didiknya.
Mereka harus dipersiapkan sedemikian rupa agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi dengan senantiasa meningkatkan diri dan memperbaharui pengetahuan (refresh/up-date), bersikap terbuka terhadap hal-hal baru (open mind) dan bersikap bersedia membantu (helpful).
Penciptaan lingkungan sekitar dan suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan pendidikan. Diperlukan stabilitas nasional, dukungan keluarga, masyarakat, LSM maupun lembaga lain merupakan pilar-pilar pendukung bagi keberlangsungan iklim pendidikan yang produktif dan berdampak positif bagi terciptanya karakter bangsa peserta didik. Jika salah satu pilar terganggu maka seluruh proses pembelajaran pun terganggu.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pesantren merupakan salah satu pilar Bangsa dan Negara dalam pendidikan islam. Langkah setrategis membangun karakter nasional bangsa adalah melalui pendidikan. Hanya negara-negara yang memiliki karakter nasional kuat yang siap bersaing ditengah globalisasi. Pesantren sebagai salah satu khazanah kekayaan budaya dan pendidikan di Indonesia bisa dijadikan model dalam pendidikan karakter bangsa.
Berkaitan dengan itu dalam rangka meralisasikan pendidikan karakter nasional bangsa ini harus ada peran pemerintah dalam beberapa hal berikut ini :
1.      Memperbanyak lembaga pendidikan guru yang berkualitas dan berbentuk asrama.
2.      Mengadakan pendidikan yang memepersiapkan calon kepala sekolah agar menjadi pemimpin dan pendidik yang cakap.
3.      Membangun lingkungan yang kondusif untuk pendidikan dan pertumbuhan generasi muda kita.
B.     Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih belum sempurna dan untuk menjadi sempurna kami  membutuhkan masukan dari pembaca atau pihak lain. Untuk itu kami mengharapkan kepada pembaca untuk memberikan berbagai masukan dan kritik demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

Aqiel Siradj, Sa’id. 1999. Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Bandung : Pustaka Hidayah.
Arifin, Muzayyin. 2000. Kapita Selekta Pendidikan Islam.  Semarang : PT. Bumi Aksara.
Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru,. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Daradjad, Zakiah. 1992.  Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Fadjar, Malik. 1998. Madrasah dan Tantangan Modernisitas. Bandung: Mizan.
Furchan, Arief. 2004. Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Gema Media.
Furchan, Arief. 2004. Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Gema Media.
Hasbullah. Sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo, Persada.
Ihsan, Fuad. 1997. Dasar- Dasar Pendidikan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Muslam. 2008.  Pengembangan Kurikulum PAI. Semarang : PKP12.
Mustofa, M. 2001. Landasan Kependidikan. Semarang : PT. Bumi Aksara.
Putra Daulay, Haidar. 2009. Mendidik Mencerdaskan Bangsa.  Bandung: Citapustaka Media Perintis.
Soenarya, Endang. 2000. Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: PT. Adi Cita Karya Nusa.
Sudardja, Endang. 1984. UUD RI’45 Dalam Hubungannya dengan pendidikan moral pancasila. Bandung : Ghalia Indonesia1984.
Tilaar. 2002. Pendidikan, kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Uno, Hamzah B. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta : PT. Bumi Aksara.


[1] Sa’id Aqiel Siradj, dkk, Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan TransformasiPesantren, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1999),  hlm. 1
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Haidar Putra Daulay, Mendidik Mencerdaskan Bangsa, ( Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), hlm. 113
[5] Hasbullah, Sejarah pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo, Persada), hlm. 77
[6] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 72
[7] Hasbullah, op. cit.  hlm. 77-78
[8] Haidar Putra Daulay, op. cit. hlm. 115
[9] Zakiah Daradjad, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 97
[10] Hamzah B. Uno, Perencanaan Pembelajaran, ( Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2006 ), hlm. 75
[11] Endang Sudardja, UUD RI’45Dalam Hubungannya dengan pendidikan moral pancasila, (Bandung : Ghalia Indonesia1984), hlm. 83
[12] Arief Furchan, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gema Media, 2004), hlm. 14
[13] M. Mustofa, Landasan Kependidikan, ( Semarang : PT. Bumi Aksara, 2001 ), hlm. 43
[14] A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernisitas, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 1
[15] Arief Furchan, op. cit. hlm. 14
[16] A. R. Tilaar, Pendidikan, kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 150
[17] Endang Soenarya, Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem, (Jakarta: PT. Adi Cita Karya Nusa, 2000 ), hlm. 33
[18] Muslam, Pengembangan Kurikulum PAI, ( Semarang : PKP12, 2008 ), hlm. 9
[19] Fuad Ihsan, Dasar- Dasar Pendidikan, ( Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1997 ), hlm. 10
[20] Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, ( Semarang : PT. Bumi Aksara, 2000 ), hlm. 201




Tidak ada komentar:

Posting Komentar