MAKALAH
“ASWAJA PADA AWAL MASUK
ISLAM”
(Untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Ahlussunnah Wal Jama’ah)
Dosen Pembimbing :
Muhammad Yusuf Wijaya, LC, MM
Disusun Oleh :
Kelompok 1
1. Fitri Nur Islamiyah (201686010028)
2. Mei Rina Wahyuni (201686010015)
3. Khoirun Nisa’ (201686010001)
4. Mutanaimah (201686010014)
5. Khoirotun Nisa’ (201686010025)
6. Cahyati Khasani (201686010007)
7. Kartika Yulia Sari (201686010013)
8. Nuril Lailatuz Z (201686010010)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS YUDHARTA
PASURUAN
2016
Kata
Pengantar
Puji syukur atas
kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Aswaja Pada Awal Masuk
Islam dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan kami juga berterima
kasih kepada Bapak Muhammad Yusuf Wijaya, LC, MM selaku dosen mata kuliah Ahlu
Sunnah Wal Jamaah yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap
makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita
mengenai Aswaja Pada Awal Masuk Islam. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang
kami buat di masa yang akan datang. Mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah
sederhana ini dapat di pahami oleh siapapun pembacanya khususnya Mahasiswa
Yudharta Pasuruan. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenang dan kami memohon kritik dan saran yang
membangun dari anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Purwosari, 21
November 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar................................................................................................................... i
Daftar
Isi........................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang...................................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah................................................................................................. 1
C. Tujuan
................................................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Aswaja................................................................................................. 2
B. Sejarah Munculnya Istilah Ahlussunnah Waljama’ah........................................... 2
C. Aswaja
Pada Awal Masuk Islam........................................................................... 3
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................................ 9
B. Saran...................................................................................................................... 9
DAFTAR
PUSTAKA.........................................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam
masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa Khalifah
Utsman bin Affan. Penyebaran islam di Indonesia masuk melalui dua jalur utama
yaitu jalur Selatan yang bermadzhab Syafi’i (Arab, Yaman, India,
Pakistan, Bangladesh, Malaka, Indonesia) dan jalur Utara yang bermadzhab Hanafi
(Turki, persia, Kazakhstan, Usbekistan, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia).
Penyebaran islam semakin berhasil, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13
oleh Wali Songo. Dari murid-murid Wali Songo inilah kemudian secara
turun-menurun menghasilkan ulama-ulama besar di wilayah Nusantara seperti
Syaikhuna Khoil Bangkalan (Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari (Banjar,
Kalimantan), Syaikh Yusuf (Sulawesi), dll.
Tela’ah terhadap Ahlussunnah Wal Jamaah (aswaja) sebagai bagian dari kajian keislaman merupakan upaya yang mendudukan aswaja secara proporsional, bukannya semata-mat untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh masalah teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasi tertentu.
Tela’ah terhadap Ahlussunnah Wal Jamaah (aswaja) sebagai bagian dari kajian keislaman merupakan upaya yang mendudukan aswaja secara proporsional, bukannya semata-mat untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh masalah teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasi tertentu.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana awal muncul berdirinya Ahlu
Sunnah Wal Jamaah?
b. Apa saja fase-fase yang ada dalam Ahlu
Sunnah Wal Jamaah?
C. Tujuan Pembelajaran
a.
Untuk mengetahui
sejarah pertumbuhan Ahlu Sunnah Wal Jamaah
b.
Untuk mengetahui
awal muncul berdirinya Ahlu Sunnah Wal Jamaah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ahlussunnah wal Jamaah
Aswaja
merupakan singkatan dari istilah ahlun, as-sunnah wal-jama’ah, dari situ
ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut:
1. Ahlun
berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2. As-sunnah
yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Meliputi
perkataan, perbuatan dan ketetapan.
3. Al-jama’ah
yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat pada massa al-khulafa’
al-Rasyidin (khalifah Abu Bakar as Siddiq ra., Sayyidina Umar bin Khattab ra.,
SayyidinaUstman bin Affan ra., dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib krw.).[1]
B. Sejarah Munculnya Istilah Ahlussunnah Waljama’ah
Istilah
Ahlussunnah Waljama’ah pertama kali dipakai pada masa pemerintahan khalifah Abu
Ja’far Al Mansur (137-159H/754-775M) dan khalifah Harun Al Rasyid
(170-194H/785-809M) keduanya dari dinasti ‘Abasiyah (750-1258). Isatilah
Ahlussunnah Waljama’ah semakin tampak kepermukaan pada zaman pemerintahan
khalifah Al Ma’mun (198-218H/813-833M). pada zamanya, Al Ma’mun menjadikan
muktazilah (aliran yang mendasarkan ajaran islam pada Al Qur’an dan akal)
sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama
agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan dengan kemakhlukan Al
Qur’an.
Untuk itu,
beliau melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian akidah terhadap pejabat dan
‘ulama. Materi pokok yang diujikan adalah masalah Al Qur’an. Bagi muktazilah,
Al Qur’an adalah makhluk (diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim (ada sejak
awal dari segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Orang
yang berpendapat bahwa Al Qur’an itu qadim berarti syirik dan syirik merupakan
dosa besar yang tak terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik, Al Ma’mun
melakukan mihnah.
Ada beberapa
ulama yang terkena mihnah dari Al Ma’mun, di antaranya, Imam
Ahmad Ibnu Hanbal (164-241 H). penggunaan istilah Ahlussunnah Waljamaah semakin
populer setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) dan
Abu Manshur Al Maturidi (w.944 M), yang melahirkan aliran “Al Asy‘ariyah
dan Al Maturidiyah” di bidang teologi. Sebagai perlawanan terhadap aliran
muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu. Teori
Asy’ariyah lebih mendahulukan naql (teks Qur’an Hadist) dari pada aql
(penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan Ahlussunnah Waljamaah pada
waktu ini, maka yang dimaksudkan adalah penganut faham Al Asy’riyah atau
Al Maturidiyah dibidang teologi.
Dalam
hubungan ini Ahlussunnah Waljamaah dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah,
Syi’ah, Khawarrij, dan aliran-aliran lain. Dari aliran Ahlussunnah Waljamaah
atau disebut aliran Sunni dibidang teologi kemudian juga berkembang dalam
bidang lain yang menjadi ciri khas aliran ini, baik di bidang fiqh dan
tashawuf. Sehingga menjadi istilah, jika disebut akidah sunni (Ahlussunnah
Waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah atau Fiqh
dan Sunni, yaitu pengiktu madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hambali). Yang menggunakan rujukan Al Qur’an, Al Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Atau
juga tashawuf sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode tashawuf Abu Qashim
Abdul Karim Al Qusyairi, Imam Al Hawi, Imam Al Ghazali dan Imam Junaid Al
Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan ma’rifat.
C.
Aswaja Pada Awal Masa
Islam
Aswaja
pada awal masa islam dari zaman
ke zaman untuk mengetahui titik terang bagaimana sebetulnya Aswaja terbentuk
hingga menjadi salah satu madzab yang menjadi rebutan para kelompok Islam di
dunia. Banyak organisasi Islam bermunculan yang kemudian masing-masing
mengklaim bahwa merekalah penganut Aswaja. Secara garis besar dalam
historisitas Aswaja ke dalam tiga fase besar.
a. Pertama, fase teologis
Aswaja pada fase teologi dibagi lagi ke dalam dua
fase, yaitu fase teologi substantif dan fase teologi formal. Pada fase teologi substantif, Aswaja
muncul sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul pada usia 40 tahun 6 bulan
dan 8 hari. Ini fase awal di mana umat manusia diminta untuk mengikuti ajaran
Nabi Muhammad yang kemudian dikenal dengan Islam. Setelah sahabat banyak
bermunculan mengikuti Nabi, umat manusia juga diminta untuk mengikuti ajaran
sahabat yang terlebih dahulu diajarkan oleh Nabi.
Pada fase teologi substantif ini, kalimat Aswaja sama
sekali tidak muncul, tetapi secara substantif umat manusia diajak untuk
mengikuti ajaran Muhammad dan para sahabat, sehingga meski tidak secara formal
muncul kalimat “ahlussunnah wal jama’ah”, tetapi umat manusia sudah diminta
untuk mengikuti ajaran Nabi dan sahabatnya yang secara substantif berarti
“ahlussunnah wal jama’ah”. Pada fase ini, orang-orang yang menyatakan masuk
Islam secara otomatis adalah pengikut Aswaja. Oleh karena itu, saya lebih suka
menamai fase ini dengan fase teologi substantif.
Selanjutnya adalah fase teologi formal. Fase ini
berlangsung saat Nabi Muhammad menjelang wafat dan memberikan wejangan kepada
umatnya bahwa umat Islam kelak akan terbagi ke dalam 73 golongan. Dan, semuanya
akan masuk neraka, kecuali satu golongan, yakni golongan yang mengikuti Nabi
Muhammad dan sahabat.[2] Hadis ini yang
kemudian oleh warga Nahdliyin digunakan sebagai hujjah terkait dengan madzab
Aswaja. Bunyi hadisnya adalah “Ma'ana Alaihi Wa Ashabihi” di mana artinya
harfiahnya adalah “Sebagaimana keadaanku sekarang dan sahabatku.”
b. Kedua, fase sosial-politik
Aswaja pada fase sosial-politik ini muncul pada masa sesudah Nabi Muhammad
wafat hingga dalam periode tertentu muncul ulama besar bernama Abu Hasan Al
Asy’ari (260H - 324H, 64 tahun), tokoh Muktazilah yang kemudian keluar dan
mendirikan madzab baru dengan semangat “ma’ana alaihi wa ashabihi”. Pengikut
madzab ini kemudian dinamakan Asya’ariyah. Seiring populernya ajaran ini,
Asy’ariyah dijadikan mazhab resmi oleh Dinasti Gaznawi di India pada abad 11-12
Masehi, sehingga pemahaman ini mudah menyebar ke berbagai wilayah, termasuk
India, Pakistan, Afghanistan, sampai ke Indonesia.
Selain Abu Hasan Al Asy’ari, ada juga tokoh yang
mendukung semangat “ma’ana alaihi wa ashabihi”, yaitu Abu Mansur Al Maturidi
yang kemudian pengikutnya dikenal dengan Al Maturidiyah. Dua tokoh ini kemudian
secara formal dikenal sebagai ulama besar yang memelopori munculnya kembali
semangat ajaran Islam berwawasan ahlussunnah wal jama’ah di tengah derasnya
arus Islam berwawasan Jabariyah, Qodariyah, dan Mu’tazilah yang banyak
membingungkan umat Muslim.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga munculnya aliran
formal Ahlussunnah wal Jama’ah yang digagas dan dipopulerkan kembali oleh Al
Asy’ari dan Al Maturidi. Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, kepala negara atau
pemimpin dari negara Islam yang dibuat oleh Nabi Muhammad adalah Abu Bakar Ash
Shidiq. Abu Bakar dipilih sebagai pemimpin melalui sebuah musyawarah yang
demokratis. Nabi Muhammad sema sekali tidak menunjuk pemimpin yang akan
menggantikannya, sehingga pada akhirnya para sahabat menunjuk Abu Bakar sebagai
pemimpin. Selanjutnya, pasca-Abu Bakar wafat, kepemimpinan digantikan oleh Umar
Bin Khattab yang dikenal dengan beberapa ijtihadnya yang melampaui ajaran
tekstual Nabi.
Pasca-Umar Bin Khattab wafat, kepemimpinannya diganti
diganti oleh Ustman Bin Affan melalui sebuah pemilihan juga. Inilah dasar-dasar
demokrasi praktis yang sudah dijalani pada masa khalifah Islam. Inilah
kepiawaian Nabi Muhammad bahwa menjelang ia wafat sekalipun, Nabi tidak
menunjuk pemimpin sehingga melahirkan sebuah sistem demokrasi praktis yang
sehat pada masa awal-awal negera Islam pasca-Nabi Muhammad wafat.
Sejak Utsman Bin Affan wafat karena dibunuh
pemberontak, kemelut muncul yang akhirnya perang antar-mukmin terjadi, yaitu
perang antara kubu Ali dan Muawiyah. Peperangan secara militer dimenangkan oleh
Ali Bin Abi Thalib, tetapi kemenangan secara diplomatis dimenangkan oleh
Muawiyah yang akhirnya membawa Muawiyah sebagai khalifah. Peristiwa ini lahir
istilah populer yang dikenal dengan tahkim, yaitu kelompok Muawiyah mengibarkan
bendera putih dengan Al Quran berada di ujung tombok sebagai tawaran damai.
Berawal dari sini, muncul kelompok Islam baru yang
menolak adanya tahkim dikenal dengan Khawarij.
Kata khawarij diambil dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Dari
sini, golongan Islam sudah pecah menjadi tiga, yaitu Syiah (kelompok pendukung
Ali, dari awal, tahkim, hingga akhir hayat Ali), Khawarij (pendukung Ali yang
kemudian keluar pasca-peristiwa tahkim. Khawarij adalah golongan yang tidak
membela Ali maupun Muawiyah karena berpendapat bahwa keduanya tidak menggunakan
hukum Allah atau Al Quran), dan pendukung Muawiyah.
Jadi, tiga golongan Islam pada awalnya (terjadi sekitar
tahun 40H) yang muncul adalah tiga: Syiah-Ali, Khawarij, dan Muawiyah. Saat
perundingan tahkim terjadi, Ali mengutus Abu Musa Al Asy’ari yang berlatar tokoh agama, sementara Muawiyah
mengutus Amru bin Ash yang berlatar tokoh politik.
Selanjutnya, untuk menguatkan kekuasaan Muawiyah
dengan dalil agama, Muawiyah membuat aliran atau golongan Islam bernama
Jabariyah yang mengajarkan bahwa setiap tindakan manusia adalah kehendak Allah.
Sehingga, apa yang kita lakukan sudah menjadi takdir Allah. Aliran Jabariyah
juga didukung sejumlah ulama yang dekat dengan Muawiyah. Dunia politik juga
berlaku pada zaman ini. Boleh jadi, ulama yang mendukung dan menyebarkan ajaran
Jabariyah untuk dekat dengan kekuasaan saja. Ini hanya spekulasi politik saja.
Hal ini bisa dijumpai pada ulama sekarang ini yang mendukung tokoh politik
tertentu dalam Pemilu.
Saat ajaran Jabariyah menyebar, tidak semua ikut
aliran ini. Aliran Jabariyah digunakan untuk melegimitasi atas kekuasaan
Muawiyah dari tangan Ali, karena peperangan dan kemenangan Muawiyah semuanya
sudah ditakdirkan oleh Allah. Dari sini, aliran Islam sudah empat, yaitu Syiah,
Khawarij, Muawiyah, dan Jabariyah (kelanjutan dari Muawiyah). Semua pengikut
Muawiyah bisa dikatakan setuju dan ikut aliran Jabariyah. Salah satu dalil
dalam Al Quran yang digunakan Jabariyah adalah “Wamaa ramaita idzromaita walaaa
kinnalllaaha ramaa”
وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى
“Tidaklah engkau memanah, pada saat memanah, akan
tetapi Allah lah yang memanah.”
Merebaknya ajaran Jabariyah
membuat situasi semakin rumit, banyak orang-orang yang malas bekerja karena
yakin bahwa apa yang ia lakukan adalah kehendak Allah. Pun, pengemis banyak
bermunculan akibat doktrin aliran Jabariyah ini dan perekonomian mulai goyah.
Banyak orang yang sekadar beribadah ritual, tetapi tidak berusaha dan bekerja
karena yakin bahwa rejeki sudah diatur oleh Allah. Aliran ini dalam istilah
modern dikenal dengan “fatalism”. Padahal, aliran Jabariyah secara politis
digunakan Muawiyah untuk melegitimasi caranya mengalahkan Ali melalui tahkim
atau arbitrase, bukan muncul secara “murni” sebagai ajaran untuk kemaslahatan
umat.
Respons atas kemelut ini, cucu
Ali Bin Abi Thalib yang bernama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi
Thalib membuat aliran baru yang kemudian dikenal dengan Qodariyah. Aliran
Qodariyah mengajarkan kepada umat Muslim bahwa manusia memiliki kehendak dan
bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Dalam hal ini, Allah tidak memiliki
ikut campur dalam setiap kehendak manusia. Dalil Al Quran yang populer untuk
melegitimasi aliran ini adalah QS Ar-Ra’d ayat 11 yang artinya: “Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri.”
Aliran Qodariyah muncul sebagai
doktrin untuk melawan dan melakukan kritik terhadap aliran Jabariyah yang kian
meresahkan umat. Pencuri pun akan mengaku bahwa apa yang dia lakukan adalah
kehendak Allah. Dari sini aliran Jabariyah mulai luntur seiring runtuhnya
kekhalifahan Muawiyah (Umayah) yang diganti dengan kekhalifahan Dinasti
Abassiyah. Pada pemerintahan Dinasti Abassiyah ini, doktrin Qodariyah menjadi
aliran paling populer hingga menjadi pondasi dan semangat untuk melakukan
pembangunan negara. Tak ayal, paham Qodariyah paling tidak membantu Dinasti
Abassiyah untuk melakukan reformasi besar-besaran dan menjadi negara maju dalam
berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan.
Seiring populernya aliran
Qodariyah, paham ini kemudian mengalami metamorfosa menjadi aliran Mu’tazilah
yang serba menggunakan logika dalam setiap ijtihadnya. Bahkan, keturunan Abas
selanjutnya menjadikan ajaran Mu’tazilah sebagai aliran resmi negara di mana
setiap warga wajib menggunakan doktrin Mu’tazilah sebagai aliran pemikiran
(manhajul fikr) umatnya. Beberapa peristiwa sampai pada pembunuhan terhadap
setiap warganya yang tidak menggunakan aliran mu’tazilah.
Berawal dari sini, seorang ulama
besar pada masanya yang mulanya pengikut Mu’tazilah dan mengatakan keluar untuk
mendirikan madzab atau aliran baru dengan semangat “maa anna alaihi wa ashabihi.”
Ulama tersebut bernama Abu Hasan Al Asy’ari.
Al Asy’ari menyatakan netral, bukan menjadi
bagian dari Jabariyah atau Qodariyah atau Mu’tazilah, tetapi ia ingin membangun
kembali semangat ajaran yang dipesan Nabi Muhammad untuk mengikuti sunnah dan
para sahabatnya.
Oleh Al Asy’ari, paham tersebut
ia sebut sebagai Ahlussunah wal Jama’ah. Dari sini, sudah bisa dimengerti bahwa
Jabariyah adalah aliran fatalism yang menganut kepada takdir. Sementara,
Qodariyah adalah bertolak belakang dengan Jabariyah, yaitu manusia punya
kehendak dan berlanjut dengan aliran Mu’tazilah di mana manusia punya kehendak
sepenuhnya (free will) dan mengedepankan rasio atau akal sepenuhnya. Berbeda
dengan ajaran Asy’ariyah yang menyatakan bahwa manusia punya kehendak, tetapi
dalam porsi tertentu dibatasi oleh takdir Allah.
c. Ketiga, fase madzab
Dalam
fase madzab ini, ulama besar seperti Abu Mansur Al Maturidi juga
mempelopori aliran bernama Al Maturidiyah yang juga dengan
semangat “maa anna alaihi wa ashabihi”. Dua tokoh ini bisa dikatakan sebagai
bapak Ahlussunah wal Jama’ah dalam bidang tauhid atau teologi. Sementara itu,
ulama-ulama besar yang ijtihad fiqihnya mendasarkan pada Ahlussunah kemudian
kita kenal dengan imam empat madzab, yakni Imam Hanafi, Imam Syafi’I, Imam
Hambali, dan Imam Maliki.
Fase madzab juga
berarti fase aliran atau ideologi. Ini hanya ijtihad dan formula ilmiah
kesejarahan.
Imam Hambali menjadi korban atas doktrin Mu’tazilah
hingga imam Hambali dipenjara dan dihukum oleh dua khalifah berturut-turut (al
Ma’mun dan al Mu’tasim) dalam pemerintahan Abbasiyah. Sementara itu, ulama
Aswaja di bidang tasawuf yang dikenal pertama kali adalah Imam al Gazali dan
Imam Abu Qasim Al-Junaidy. Inilah sejarah Aswaja pada fase sosial-politik.
Seiring berkembangnya ajaran Aswaja sebagai aliran
pemikiran yang dirasa mampu mengakomodasi kepentingan ibadah-rohaniyah umat
Muslim, Islam Aswaja atau orang juga populer menyebutnya Sunni berkembang pesat
hingga ke berbagai penjuru dunia di mana masing-masing kelompok Islam
menggunakan ideologi Aswaja. Salah satu kelompok atau perkumpulan Islam yang
menganut Aswaja sebagai ideologi dan metode berpikir (manhaj al-fikr). Fase ini
kemudian disebut dengan fase ideologi. Pada fase ini, Aswaja menjadi ideologi
yang secara formal menjadi visi, spirit dan manhaj al fikr bagi perkumpulan
atau organisasi keislaman. Dalam fase ini pula, banyak organisasi yang kemudian
saling klaim bahwa dirinya adalah organisasi Islam bermadzab Aswaja.
Hadirnya para penyebar agama Islam di Nusantara
seperti Walisongo memberikan warna bagi tumbuh suburnya aliran Aswaja di
Indonesia. Walisongo menyebarkan Islam dengan cara damai, akomodatif, moderat,
toleran
dan berpegang pada mengambil maslahat dan menolak kemudaratan sebagai konsep
yang dibawa oleh para ulama pendahulu yang mengusung Aswaja.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Melacak akar-akar sejarah menculnya istilah
Ahlussunnah Wal Jamaah secara etimologi bahwa aswaja sudah ada sejak Rasulullah
lalu diteruskan oleh para sahabat-sahabat sebagai pedoman hidup yang mengikuti
segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi dari tingkah laku, perkataan, perbuatan
dan semua yang berhubungan dengan Rosulullah. Ahli Sunnah wal Jama'ah meliputi
pemahaman dalam tiga bidang utama, yakni bidang Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf.
Ketiganya merupakan ajaran Islam yang harus bersumber dari Nash Qur'an maupun
Hadist dan kemudian menjadi satu kesatuan konsep ajaran aswaja.
B.
Saran
Hendaknya
sebagai muslim yang beriman selalu mengikuti apa yang diajarkan oleh Rasululloh
dan tidak mengubah apa yang pernah diajarkannya, karena itu akan mengakibatkan
pertikaian antar golongan.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.islamcendekia.com/2014/09/sejarah-lengkap-ahlussunnah-wal-jamaah-aswaja.html
Syaiful
Rizal Hasan, M.Pd. 2014, Jawabul Masail, Pondok Pesantren Ngalah,
Pasuruan : Darut Taqwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar