Rabu, 30 November 2016

ASWAJA PADA AWAL MASUK ISLAM




MAKALAH
“ASWAJA PADA AWAL MASUK ISLAM”
(Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ahlussunnah Wal Jama’ah)



Dosen Pembimbing :
Muhammad Yusuf Wijaya, LC, MM
Disusun Oleh :
Kelompok 1
1.      Fitri Nur Islamiyah    (201686010028)
2.      Mei Rina Wahyuni    (201686010015)
3.      Khoirun Nisa’            (201686010001)
4.      Mutanaimah               (201686010014)
5.      Khoirotun Nisa’         (201686010025)
6.      Cahyati Khasani        (201686010007)
7.      Kartika Yulia Sari      (201686010013)
8.      Nuril Lailatuz Z         (201686010010)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN
2016
Kata Pengantar

Puji syukur atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Aswaja Pada Awal Masuk Islam dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan kami juga berterima kasih kepada Bapak Muhammad Yusuf Wijaya, LC, MM selaku dosen mata kuliah Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Aswaja Pada Awal Masuk Islam. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang kami buat di masa yang akan datang. Mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat di pahami oleh siapapun pembacanya khususnya Mahasiswa Yudharta Pasuruan. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenang dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.










Purwosari, 21 November 2016


                                                                                                                     Penyusun


DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................... i
Daftar Isi........................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...................................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah................................................................................................. 1
C.     Tujuan ................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Aswaja................................................................................................. 2
B.     Sejarah Munculnya Istilah Ahlussunnah Waljama’ah........................................... 2
C.     Aswaja Pada Awal Masuk Islam........................................................................... 3
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan............................................................................................................ 9
B.     Saran...................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Penyebaran islam di Indonesia masuk melalui dua jalur utama yaitu jalur Selatan  yang bermadzhab Syafi’i (Arab, Yaman, India, Pakistan, Bangladesh, Malaka, Indonesia) dan jalur Utara yang bermadzhab Hanafi (Turki, persia, Kazakhstan, Usbekistan, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia). Penyebaran islam semakin berhasil, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh Wali Songo. Dari murid-murid Wali Songo inilah kemudian secara turun-menurun menghasilkan ulama-ulama besar di wilayah Nusantara seperti Syaikhuna Khoil Bangkalan (Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari (Banjar, Kalimantan), Syaikh Yusuf (Sulawesi), dll.
Tela’ah terhadap Ahlussunnah Wal Jamaah (aswaja) sebagai bagian dari kajian keislaman merupakan upaya yang mendudukan aswaja secara proporsional, bukannya semata-mat untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh masalah teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasi tertentu.
B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimana awal muncul berdirinya Ahlu Sunnah Wal Jamaah?
b.      Apa saja fase-fase yang ada dalam Ahlu Sunnah Wal Jamaah?
C.     Tujuan Pembelajaran
a.       Untuk mengetahui sejarah pertumbuhan Ahlu Sunnah Wal Jamaah
b.      Untuk mengetahui awal muncul berdirinya Ahlu Sunnah Wal Jamaah


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ahlussunnah wal Jamaah
Aswaja merupakan singkatan dari istilah ahlun, as-sunnah wal-jama’ah, dari situ ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut:
1.      Ahlun berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2.      As-sunnah yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Meliputi perkataan, perbuatan dan ketetapan.
3.      Al-jama’ah yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat pada massa al-khulafa’ al-Rasyidin (khalifah Abu Bakar as Siddiq ra., Sayyidina Umar bin Khattab ra., SayyidinaUstman bin Affan ra., dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib krw.).[1]
B.     Sejarah Munculnya Istilah Ahlussunnah Waljama’ah
Istilah Ahlussunnah Waljama’ah pertama kali dipakai pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far Al Mansur (137-159H/754-775M) dan khalifah Harun Al Rasyid (170-194H/785-809M) keduanya dari dinasti ‘Abasiyah (750-1258).  Isatilah Ahlussunnah Waljama’ah semakin tampak kepermukaan pada zaman pemerintahan khalifah Al Ma’mun (198-218H/813-833M). pada zamanya, Al Ma’mun menjadikan muktazilah (aliran yang mendasarkan ajaran islam pada Al Qur’an dan akal) sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan dengan kemakhlukan  Al Qur’an.
Untuk itu, beliau melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian akidah terhadap pejabat dan ‘ulama. Materi pokok yang diujikan adalah masalah Al Qur’an. Bagi muktazilah, Al Qur’an adalah makhluk (diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim (ada sejak awal dari segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Orang yang berpendapat bahwa Al Qur’an itu qadim berarti syirik dan syirik merupakan dosa besar yang tak terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik, Al Ma’mun melakukan mihnah.
Ada beberapa ulama yang terkena mihnah dari Al Ma’mun, di antaranya, Imam Ahmad Ibnu Hanbal (164-241 H). penggunaan istilah Ahlussunnah Waljamaah semakin populer setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) dan Abu  Manshur Al Maturidi (w.944 M), yang melahirkan aliran “Al Asy‘ariyah dan Al Maturidiyah” di bidang teologi. Sebagai perlawanan terhadap aliran muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu.  Teori Asy’ariyah lebih mendahulukan naql (teks Qur’an Hadist) dari pada aql (penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan Ahlussunnah Waljamaah pada waktu ini, maka yang dimaksudkan  adalah penganut faham Al Asy’riyah atau Al Maturidiyah dibidang teologi.
Dalam hubungan ini Ahlussunnah Waljamaah dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah, Syi’ah, Khawarrij, dan aliran-aliran lain. Dari aliran Ahlussunnah Waljamaah atau disebut aliran Sunni  dibidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi ciri khas aliran ini, baik di bidang fiqh dan tashawuf. Sehingga menjadi istilah, jika disebut akidah sunni (Ahlussunnah Waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah atau Fiqh dan Sunni, yaitu pengiktu madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Yang menggunakan rujukan Al Qur’an, Al Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Atau juga tashawuf sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode tashawuf Abu Qashim Abdul Karim Al Qusyairi, Imam Al Hawi, Imam Al Ghazali dan Imam Junaid Al Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan ma’rifat.
C.     Aswaja Pada Awal Masa Islam  
Aswaja pada awal masa islam dari zaman ke zaman untuk mengetahui titik terang bagaimana sebetulnya Aswaja terbentuk hingga menjadi salah satu madzab yang menjadi rebutan para kelompok Islam di dunia. Banyak organisasi Islam bermunculan yang kemudian masing-masing mengklaim bahwa merekalah penganut Aswaja. Secara garis besar dalam historisitas Aswaja ke dalam tiga fase besar. 
a.       Pertama, fase teologis
Aswaja pada fase teologi dibagi lagi ke dalam dua fase, yaitu fase teologi substantif dan fase teologi formal. Pada fase teologi substantif,  Aswaja muncul sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul pada usia 40 tahun 6 bulan dan 8 hari. Ini fase awal di mana umat manusia diminta untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad yang kemudian dikenal dengan Islam. Setelah sahabat banyak bermunculan mengikuti Nabi, umat manusia juga diminta untuk mengikuti ajaran sahabat yang terlebih dahulu diajarkan oleh Nabi.
Pada fase teologi substantif ini, kalimat Aswaja sama sekali tidak muncul, tetapi secara substantif umat manusia diajak untuk mengikuti ajaran Muhammad dan para sahabat, sehingga meski tidak secara formal muncul kalimat “ahlussunnah wal jama’ah”, tetapi umat manusia sudah diminta untuk mengikuti ajaran Nabi dan sahabatnya yang secara substantif berarti “ahlussunnah wal jama’ah”. Pada fase ini, orang-orang yang menyatakan masuk Islam secara otomatis adalah pengikut Aswaja. Oleh karena itu, saya lebih suka menamai fase ini dengan fase teologi substantif.
Selanjutnya adalah fase teologi formal. Fase ini berlangsung saat Nabi Muhammad menjelang wafat dan memberikan wejangan kepada umatnya bahwa umat Islam kelak akan terbagi ke dalam 73 golongan. Dan, semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan, yakni golongan yang mengikuti Nabi Muhammad dan sahabat.[2]  Hadis ini yang kemudian oleh warga Nahdliyin digunakan sebagai hujjah terkait dengan madzab Aswaja. Bunyi hadisnya adalah “Ma'ana Alaihi Wa Ashabihi” di mana artinya harfiahnya adalah “Sebagaimana keadaanku sekarang dan sahabatku.”
b.      Kedua, fase sosial-politik
Aswaja pada fase sosial-politik  ini muncul pada masa sesudah Nabi Muhammad wafat hingga dalam periode tertentu muncul ulama besar bernama Abu Hasan Al Asy’ari (260H - 324H, 64 tahun), tokoh Muktazilah yang kemudian keluar dan mendirikan madzab baru dengan semangat “ma’ana alaihi wa ashabihi”. Pengikut madzab ini kemudian dinamakan Asya’ariyah. Seiring populernya ajaran ini, Asy’ariyah dijadikan mazhab resmi oleh Dinasti Gaznawi di India pada abad 11-12 Masehi, sehingga pemahaman ini mudah menyebar ke berbagai wilayah, termasuk India, Pakistan, Afghanistan, sampai ke Indonesia.
Selain Abu Hasan Al Asy’ari, ada juga tokoh yang mendukung semangat “ma’ana alaihi wa ashabihi”, yaitu Abu Mansur Al Maturidi yang kemudian pengikutnya dikenal dengan Al Maturidiyah. Dua tokoh ini kemudian secara formal dikenal sebagai ulama besar yang memelopori munculnya kembali semangat ajaran Islam berwawasan ahlussunnah wal jama’ah di tengah derasnya arus Islam berwawasan Jabariyah, Qodariyah, dan Mu’tazilah yang banyak membingungkan umat Muslim.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga munculnya aliran formal Ahlussunnah wal Jama’ah yang digagas dan dipopulerkan kembali oleh Al Asy’ari dan Al Maturidi. Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, kepala negara atau pemimpin dari negara Islam yang dibuat oleh Nabi Muhammad adalah Abu Bakar Ash Shidiq. Abu Bakar dipilih sebagai pemimpin melalui sebuah musyawarah yang demokratis. Nabi Muhammad sema sekali tidak menunjuk pemimpin yang akan menggantikannya, sehingga pada akhirnya para sahabat menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin. Selanjutnya, pasca-Abu Bakar wafat, kepemimpinan digantikan oleh Umar Bin Khattab yang dikenal dengan beberapa ijtihadnya yang melampaui ajaran tekstual Nabi.
Pasca-Umar Bin Khattab wafat, kepemimpinannya diganti diganti oleh Ustman Bin Affan melalui sebuah pemilihan juga. Inilah dasar-dasar demokrasi praktis yang sudah dijalani pada masa khalifah Islam. Inilah kepiawaian Nabi Muhammad bahwa menjelang ia wafat sekalipun, Nabi tidak menunjuk pemimpin sehingga melahirkan sebuah sistem demokrasi praktis yang sehat pada masa awal-awal negera Islam pasca-Nabi Muhammad wafat.
Sejak Utsman Bin Affan wafat karena dibunuh pemberontak, kemelut muncul yang akhirnya perang antar-mukmin terjadi, yaitu perang antara kubu Ali dan Muawiyah. Peperangan secara militer dimenangkan oleh Ali Bin Abi Thalib, tetapi kemenangan secara diplomatis dimenangkan oleh Muawiyah yang akhirnya membawa Muawiyah sebagai khalifah. Peristiwa ini lahir istilah populer yang dikenal dengan tahkim, yaitu kelompok Muawiyah mengibarkan bendera putih dengan Al Quran berada di ujung tombok sebagai tawaran damai.
Berawal dari sini, muncul kelompok Islam baru yang menolak adanya tahkim dikenal dengan Khawarij.  Kata khawarij diambil dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Dari sini, golongan Islam sudah pecah menjadi tiga, yaitu Syiah (kelompok pendukung Ali, dari awal, tahkim, hingga akhir hayat Ali), Khawarij (pendukung Ali yang kemudian keluar pasca-peristiwa tahkim. Khawarij adalah golongan yang tidak membela Ali maupun Muawiyah karena berpendapat bahwa keduanya tidak menggunakan hukum Allah atau Al Quran), dan pendukung Muawiyah.
Jadi, tiga golongan Islam pada awalnya (terjadi sekitar tahun 40H) yang muncul adalah tiga: Syiah-Ali, Khawarij, dan Muawiyah. Saat perundingan tahkim terjadi, Ali mengutus Abu Musa Al Asy’ari  yang berlatar tokoh agama, sementara Muawiyah mengutus Amru bin Ash yang berlatar tokoh politik.
Selanjutnya, untuk menguatkan kekuasaan Muawiyah dengan dalil agama, Muawiyah membuat aliran atau golongan Islam bernama Jabariyah yang mengajarkan bahwa setiap tindakan manusia adalah kehendak Allah. Sehingga, apa yang kita lakukan sudah menjadi takdir Allah. Aliran Jabariyah juga didukung sejumlah ulama yang dekat dengan Muawiyah. Dunia politik juga berlaku pada zaman ini. Boleh jadi, ulama yang mendukung dan menyebarkan ajaran Jabariyah untuk dekat dengan kekuasaan saja. Ini hanya spekulasi politik saja. Hal ini bisa dijumpai pada ulama sekarang ini yang mendukung tokoh politik tertentu dalam Pemilu.
Saat ajaran Jabariyah menyebar, tidak semua ikut aliran ini. Aliran Jabariyah digunakan untuk melegimitasi atas kekuasaan Muawiyah dari tangan Ali, karena peperangan dan kemenangan Muawiyah semuanya sudah ditakdirkan oleh Allah. Dari sini, aliran Islam sudah empat, yaitu Syiah, Khawarij, Muawiyah, dan Jabariyah (kelanjutan dari Muawiyah). Semua pengikut Muawiyah bisa dikatakan setuju dan ikut aliran Jabariyah. Salah satu dalil dalam Al Quran yang digunakan Jabariyah adalah “Wamaa ramaita idzromaita walaaa kinnalllaaha ramaa”
وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى
“Tidaklah engkau memanah, pada saat memanah, akan tetapi Allah lah yang memanah.”
Merebaknya ajaran Jabariyah membuat situasi semakin rumit, banyak orang-orang yang malas bekerja karena yakin bahwa apa yang ia lakukan adalah kehendak Allah. Pun, pengemis banyak bermunculan akibat doktrin aliran Jabariyah ini dan perekonomian mulai goyah. Banyak orang yang sekadar beribadah ritual, tetapi tidak berusaha dan bekerja karena yakin bahwa rejeki sudah diatur oleh Allah. Aliran ini dalam istilah modern dikenal dengan “fatalism”. Padahal, aliran Jabariyah secara politis digunakan Muawiyah untuk melegitimasi caranya mengalahkan Ali melalui tahkim atau arbitrase, bukan muncul secara “murni” sebagai ajaran untuk kemaslahatan umat.
Respons atas kemelut ini, cucu Ali Bin Abi Thalib yang bernama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib membuat aliran baru yang kemudian dikenal dengan Qodariyah. Aliran Qodariyah mengajarkan kepada umat Muslim bahwa manusia memiliki kehendak dan bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Dalam hal ini, Allah tidak memiliki ikut campur dalam setiap kehendak manusia. Dalil Al Quran yang populer untuk melegitimasi aliran ini adalah QS Ar-Ra’d ayat 11 yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Aliran Qodariyah muncul sebagai doktrin untuk melawan dan melakukan kritik terhadap aliran Jabariyah yang kian meresahkan umat. Pencuri pun akan mengaku bahwa apa yang dia lakukan adalah kehendak Allah. Dari sini aliran Jabariyah mulai luntur seiring runtuhnya kekhalifahan Muawiyah (Umayah) yang diganti dengan kekhalifahan Dinasti Abassiyah. Pada pemerintahan Dinasti Abassiyah ini, doktrin Qodariyah menjadi aliran paling populer hingga menjadi pondasi dan semangat untuk melakukan pembangunan negara. Tak ayal, paham Qodariyah paling tidak membantu Dinasti Abassiyah untuk melakukan reformasi besar-besaran dan menjadi negara maju dalam berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan.
Seiring populernya aliran Qodariyah, paham ini kemudian mengalami metamorfosa menjadi aliran Mu’tazilah yang serba menggunakan logika dalam setiap ijtihadnya. Bahkan, keturunan Abas selanjutnya menjadikan ajaran Mu’tazilah sebagai aliran resmi negara di mana setiap warga wajib menggunakan doktrin Mu’tazilah sebagai aliran pemikiran (manhajul fikr) umatnya. Beberapa peristiwa sampai pada pembunuhan terhadap setiap warganya yang tidak menggunakan aliran mu’tazilah.
Berawal dari sini, seorang ulama besar pada masanya yang mulanya pengikut Mu’tazilah dan mengatakan keluar untuk mendirikan madzab atau aliran baru dengan semangat “maa anna alaihi wa ashabihi.” Ulama tersebut bernama Abu Hasan Al Asy’ari.
 Al Asy’ari menyatakan netral, bukan menjadi bagian dari Jabariyah atau Qodariyah atau Mu’tazilah, tetapi ia ingin membangun kembali semangat ajaran yang dipesan Nabi Muhammad untuk mengikuti sunnah dan para sahabatnya.
Oleh Al Asy’ari, paham tersebut ia sebut sebagai Ahlussunah wal Jama’ah. Dari sini, sudah bisa dimengerti bahwa Jabariyah adalah aliran fatalism yang menganut kepada takdir. Sementara, Qodariyah adalah bertolak belakang dengan Jabariyah, yaitu manusia punya kehendak dan berlanjut dengan aliran Mu’tazilah di mana manusia punya kehendak sepenuhnya (free will) dan mengedepankan rasio atau akal sepenuhnya. Berbeda dengan ajaran Asy’ariyah yang menyatakan bahwa manusia punya kehendak, tetapi dalam porsi tertentu dibatasi oleh takdir Allah.
c.       Ketiga, fase madzab
Dalam fase madzab ini, ulama besar seperti Abu Mansur Al Maturidi juga mempelopori aliran bernama Al Maturidiyah yang  juga dengan semangat “maa anna alaihi wa ashabihi”. Dua tokoh ini bisa dikatakan sebagai bapak Ahlussunah wal Jama’ah dalam bidang tauhid atau teologi. Sementara itu, ulama-ulama besar yang ijtihad fiqihnya mendasarkan pada Ahlussunah kemudian kita kenal dengan imam empat madzab, yakni Imam Hanafi, Imam Syafi’I, Imam Hambali, dan Imam Maliki.
Fase madzab juga berarti fase aliran atau ideologi. Ini hanya ijtihad dan formula ilmiah kesejarahan.
Imam Hambali menjadi korban atas doktrin Mu’tazilah hingga imam Hambali dipenjara dan dihukum oleh dua khalifah berturut-turut (al Ma’mun dan al Mu’tasim) dalam pemerintahan Abbasiyah. Sementara itu, ulama Aswaja di bidang tasawuf yang dikenal pertama kali adalah Imam al Gazali dan Imam Abu Qasim Al-Junaidy. Inilah sejarah Aswaja pada fase sosial-politik.
Seiring berkembangnya ajaran Aswaja sebagai aliran pemikiran yang dirasa mampu mengakomodasi kepentingan ibadah-rohaniyah umat Muslim, Islam Aswaja atau orang juga populer menyebutnya Sunni berkembang pesat hingga ke berbagai penjuru dunia di mana masing-masing kelompok Islam menggunakan ideologi Aswaja. Salah satu kelompok atau perkumpulan Islam yang menganut Aswaja sebagai ideologi dan metode berpikir (manhaj al-fikr). Fase ini kemudian disebut dengan fase ideologi. Pada fase ini, Aswaja menjadi ideologi yang secara formal menjadi visi, spirit dan manhaj al fikr bagi perkumpulan atau organisasi keislaman. Dalam fase ini pula, banyak organisasi yang kemudian saling klaim bahwa dirinya adalah organisasi Islam bermadzab Aswaja.
Hadirnya para penyebar agama Islam di Nusantara seperti Walisongo memberikan warna bagi tumbuh suburnya aliran Aswaja di Indonesia. Walisongo menyebarkan Islam dengan cara damai, akomodatif,  moderat,  toleran dan berpegang pada mengambil maslahat dan menolak kemudaratan sebagai konsep yang dibawa oleh para ulama pendahulu yang mengusung Aswaja.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Melacak akar-akar sejarah  menculnya istilah Ahlussunnah Wal Jamaah secara etimologi bahwa aswaja sudah ada sejak Rasulullah lalu diteruskan oleh para sahabat-sahabat sebagai pedoman hidup yang mengikuti segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi dari tingkah laku, perkataan, perbuatan dan semua yang berhubungan dengan Rosulullah. Ahli Sunnah wal Jama'ah meliputi pemahaman dalam tiga bidang utama, yakni bidang Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf. Ketiganya merupakan ajaran Islam yang harus bersumber dari Nash Qur'an maupun Hadist dan kemudian menjadi satu kesatuan konsep ajaran aswaja. 

B.     Saran
Hendaknya sebagai muslim yang beriman selalu mengikuti apa yang diajarkan oleh Rasululloh dan tidak mengubah apa yang pernah diajarkannya, karena itu akan mengakibatkan pertikaian antar golongan.


DAFTAR PUSTAKA

http://www.islamcendekia.com/2014/09/sejarah-lengkap-ahlussunnah-wal-jamaah-aswaja.html
Syaiful Rizal Hasan, M.Pd. 2014, Jawabul Masail, Pondok Pesantren Ngalah, Pasuruan : Darut Taqwa.





[1]  Hasan syaiful rizal, M.Pd, Jawabul Masail, Pondok Pesantren Ngalah, hlm, 60.
[2] Ibid, hlm, 418.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar