MAKALAH
ULUMUL HADIST
“ILMU NASIKH WAL
MANSUKH”
(Untuk Memenuhi
Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadist)
Dosen Pembimbing :
Ali
Mohtarom, S.Ag., M.Pdi
Disusun Oleh :
1. Fitri Nur Islamiyah (201686010028)
2. Khoirotun Nisa’ (201686010025)
3. Fadilatul Lailiyah (201686010027)
PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN
2016
A. Pengertian
Nasikh Mansukh
Naskh menururt bahasa mempunyai dua makna
yaitu menghapus dan menukil.
Sehingga seolah-olah
yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau
menukilkannya kepada hukum yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah “pengangkatan
yang dilakukan oleh penetap syariat terhadap suatu hukum yang datang terdahulu
dengan hukum yang datang kemudian”.[1]
Sedangkan Mansukh menurut bahasa ialah sesuatu yang
di hapus atau dihilangkan atau dipindah atau disalin atau dinukil. Sedangkan
menurut istilah para ulama’ ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil
syara’ yang sama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum
syara’ yang baru yang datang kemudian.
Ilmu Nasikh wa Mansukh hadits adalah
ilmu pengetahuan yang membahas tentang hadits yang datang kemudian
sebagai penghapus terhadap ketentuan hukum yang berlawanan dengan
kandungan hadits yang datang lebih dahulu.
Para muhadditsin memberikan ta’rif ilmu itu secara lengkap
ialah:
هوالعلم ااذ ي يبحث عن الاحاديث
المتعارضة التلى لايمكن التو فيق بينها من حيث الحكم على بعضها باء نه ناسخ, وعلى
بعضهاالاخر بانه منسوخ, فما ثبت تقد مه كان منسوخا وما تاخره كان ناسخا.
“Ilmu yang membahas tentang
hadist-hadist yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan ketetapan
yang dating terlebih dahulu disebut mansukh dan yang datang kemudian disebut
nasikh” [2]
B. Dasar
– Dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh
Manna’ Al-Qaththan menetapkan tiga
dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain
mansukh (dihapus). Ketiga dasar adalah:
a. Melalui pentransmisian yang jelas
(An-naql Al-sharih ) dari Nabi atau para sahabatnya, seperti hadist: Aku dulu
melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah.
b. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat
ini nasikh dan ayat itu mansukh
c. Melalui studi sejarah, mana ayat
yang lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh, dan mana yang duluan turun,
sehingga disebut mansukh Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa
ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya
kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakangnya
keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.
C. Cara
Mengetahui Proses Terjadinya Nasikh
Terjadinya
proses penghapusan (nasikh) ini bisa diketahui melalui empat cara yaitu
:[3]
1. Adanya penjelasan langsung dari syari’
yaitu Rasulullah. Contohnya sebagaimana hadits tentang pelarangan ziarah kubur
yang dihapus dengan perintah melakukannya.
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ
زَوَّارَاتِ القُبُورِ
Bahwa Rasulullah SAW. melaknat para perempuan peziarah
kubur.”
(HR. Turmudzi)
عَنْ
سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ القُبُورِ،
فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ، فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا
تُذَكِّرُ الآخِرَةَ.
Diriwayatkan dari Sulaiman bin
Buraidah, dari ayahnya, bahwa: “Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya aku
pernah melarang kalian ziarah kubur, sungguh telah diizinkan bagi Muhammad
untuk menziarahi kubur ibunya. Maka sekarang ziarah kuburlah. Sebab dengan
ziarah kubur itu akan membankitkan kesadaran akan kehidupan akhirat.” (HR.
Turmudzi)
2. Adanya penjelasan dari sahabat Nabi
tentang terjadinya nasikh, seperti hukum pembatalan wudhu saat memegang
api yang dijelaskan oleh Jabir bin Abdillah.
عن ابي هريرة قال إِنَّمَا
أَتَوَضَّأُ مِنْ أَثْوَارِ أَقِطٍ أَكَلْتُهاَ لِأَنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلُ الله
صَلىَّ الله عَلَيْه وَسَلَّم يَقُوْلُ تَوَضَّئوُا مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
Sesungguhnya aku berwudhu, karena telah makan sepotong keju, Aku mendengar
Rasulullah SAW. bersabda: “Berwudhulah kalian karena makan sesuatu yang
telah dimasak.” (HR. Muslim)
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: «كَانَ آخِرَ
الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرْكُ
الْوُضُوءِ مِمَّا غَيَّرَتِ النَّارُ»
Diriwayatkan oleh Jabir, bahwa: “Adalah
di antara dua perbuatan Rasulullah SAW. ialah tidak berwudhu setelah makan
sesuatu yang berubah karena dimasak.” (HR. Abu Daud)
3. Melalui penelusuran sejarah
keluarnya hadits, sebagaimana hadits Syaddad bin Aus yang menjelaskan
pembatalan puasa bagi orang yang bekam dan yang membekam. Hadits ini muncul
pada peristiwa penaklukan kota Mekkah kemudian di nasikh oleh hadits
Ibnu Abbas bahwa Nabi melakukan bekam, sedang beliau dalam keadaan ihram dan
puasa, dan itu terjadi pada peristiwa haji wada’.
عَنْ
رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ.
Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij,
bahwa: Rasulullah SAW. bersabda “Batal berpuasa bagi orang yang membekam dan
yang dibekam.” (HR. Turmudzi)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا: «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ
مُحْرِمٌ، وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ»
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.
Bahwa Nabi SAW. berbekam sedang beliau dalam keadaan berihram dan berpuasa.
(HR. Bukhari)
4. Petunjuk ijma’ atau konsensus ulama’
sebagaimana hukum cambuk bagi peminum minuman keras yang jika mengulangi sampai
empat kali maka dibunuh. Menurut An-Nawawi, ijma’ menunjukkan terjadinya nasikh.
Ijma’, katanya, tidak bisa menghapus dan tidak bisa dihapus. Akan tetapi, ia
hanya menunjukkan adanya nasikh didalamnya.
D. Syarat
- Syarat Nasakh
1. Adanya mansukh (yang dihapus) dengan
syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah
berupa hukum syara’ yang
bersifat ‘amali, tidak terikat ataudibatasi dengan waktu tertentu.
2. Adanya mansukh bih (yang digunakan
untuk menghapus) dengan syarat datangnya dari syari’ (Rasulullah saw).
3. Adanya nasikh (yang berhak
menghapus), dalam kaitan ini yaitu Rasulullah saw.
4. Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum
yang dihapus itu adalah orang-orang yang sudah akil baligh atau mukallaf).
Karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus atau yang dihapus itu adalah
tertuju pada mereka.
Sedangkan ‘Abd ‘Azhim al Zarqany mengemukakan
bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila
:
a.
Adanya
dua hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak diamalkan secara sekaligus dalam segala
segi.
b.
Ketentuan
hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan dari pada ketetapan hukum syara’ yang diangkat
atau dihapus.
c.
Harus
diketahui secara meyakinkan perurutan penukilan hadits-hadits tersebut sehingga yang lebih dahulu dinukilan
ditetapkan sebagai mansukh dan yang dinukilkan
kemudiaannya sebagai nasikh
E. Bentuk Nasakh
Yang Berkaitan Dengan Hadits
1. Nasakh Hadis
Dengan Hadis
Ulama Usul
al-Fiqh sepakat mengatakan hadis boleh dinasakhkan dengan hadis, yaitu mutawatir
dengan mutawatir, mutawatir dengan masyhur dan mutawatir dengan ahad. Contohnya
ialah hadis larangan menziarahi kubur dan menyimpan daging korban.
Larangan-larangan ini pada mulanya thabit dengan hadis dan hadis sendiri yang
membenarkannya. Oleh itu, nasakh ini dikatakan nasakh hadis dengan hadis.[4]
2.
Nasakh Hadis Dengan al-Qur’an
Kebanyakan ulama
termasuk ulama Zahiriyyah mengakui adanya nasakh hadis dengan al-Qur’an. Walau
bagaimanapun, Imam al-Syafi’i tidak menerimanya. Jumhur berhujah bahawa nasakh
seperti ini memang berlaku dengan mengemukakan contoh perpindahan kiblat dari
Baitul Maqdis ke Ka`bah. Sembahyang dengan mengadap ke arah Baitul Maqdis
sememangnya thabit tetapi dengan hadis bukan al-Qur’an. Al-Hazimi mengemukakan
satu riwayat daripada al-Barra’ bin `Azib:
ان رسول
الله صلى الله عليه وسلم كان اول ماقد المد ينة نزل على احداده من الاء نصاروانه
صلى قبل بيت المقد س سته عشر شهرا اءوسبعه عشر شهر.
Daripada
al-Barra’ bin `Azib bahawa perkara yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.
apabila sampai di Madinah ialah menemui datuk neneknya dari kalangan Ansar dan
baginda bersembahyang mengadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan
atau tujuh belas bulan.
Hadis ini telah
dinasakhkan oleh ayat yang
artiny:
Sesungguhnya Kami sering melihat mukamu mengadah ke
langit, maka sesungguhnya Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu kr arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada,
palingkanlah mukamu ke arahnya. (Surah al-Baqarah: 144)
3.
Nasakh al-Qur’an Dengan Hadis
Jumhur ulama termasuk Zahiriyyah mengharuskan nasakh
hadis dengan al-Qur’an sementara Imam al-Syafie mencegahnya.
Bagaimanapun golongan Hanafiyyah hanya mengharuskan nasakh al-Qur’an dengan
hadis mutawatir dan masyhur kerana ianya tersebar luas di kalangan manusia.
Golongan yang mengharuskannya berhujah dengan ayat wasiat kepada ibu bapa dan
kaum kerabat.
Diwajibkan ke atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat
untuk ibu bapa dan kaum kerabat secara ma`ruf, ini adalah kewajipan atas
orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah:180)
Ayat ini telah
dimansukhkan dengan hadis:
عن ابي
امامة, قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسم يقو ل: " ان الله قد أعطى كل
ذي حق حقه, فلا وصية لوارث" ابو داود
Daripada Abu
Umamah, katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya Allah
s.w.t. telah menentukan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan hak
masing-masing. Dengan itu, maka, tidak ada wasiat untuk waris (orang yang
berhak menerima pusaka).”
Tetapi golongan yang tidak mengharuskan bentuk nasakh ini
menjawab bahawa ayat
wasiat itu
sebenarnya dinasakhkan oleh ayat mawarith yaitu ayat 11 surah al-Maidah
sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Abbas.[5]
4.
Apakah Semua Hadis Yang Dimansukhkan
Itu Dipersetujui Oleh Semua
Oleh kerena penentuan
nasakh merupakan perkara yang diijtihadkan, tentu sekali ada perbedaan pendapat
ulama dalam menentukan sesuatu hadis itu dimansukhkan ataupun tidak. Tidak
semua hadis yang dikatakan sebagai telah mansukh dipersetujui oleh semua pihak.
Walau bagaimanapun terdapat juga, hadis yang disepakati oleh ulama sebagai
mansukh. Dalam hal ini, Dr Yusuf al-Qaradhawi menyebut: “Banyak hadis yang
didakwa sebagai telah dimansukhkan tetapi setelah dikaji ia tidaklah
dinasakhkan. Ada hadis yang berbentuk `azimah dan ada pula yang berbentuk
rukhsah. Kedua bentuk ini mempunyai hukum masing-masing pada tempatnya.
Terdapat sesetengah hadis yang berkaitan dengan keadaan tertentu dan hadis yang
lain pula berkaitan dengan keadaan yang lain, maka perbedaan keadaan itu bukan
menunjukkan nasakh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar