Rabu, 30 November 2016

ILMU NASIKH MANSUKH HADIST



MAKALAH
ULUMUL HADIST
“ILMU NASIKH WAL MANSUKH”
(Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadist)



Dosen Pembimbing :
Ali Mohtarom, S.Ag., M.Pdi
Disusun Oleh :
1.      Fitri Nur Islamiyah      (201686010028)
2.      Khoirotun Nisa’          (201686010025)
3.      Fadilatul Lailiyah        (201686010027)


PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN
2016

A.    Pengertian Nasikh Mansukh
Naskh menururt bahasa mempunyai dua makna yaitu menghapus dan menukil. Sehingga seolah-olah yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah “pengangkatan yang dilakukan oleh penetap syariat terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian”.[1]
Sedangkan Mansukh menurut bahasa ialah sesuatu yang di hapus atau dihilangkan atau dipindah atau disalin atau dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’  ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang sama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum syara’ yang baru yang datang kemudian.
Ilmu Nasikh wa Mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan  yang membahas tentang hadits yang datang kemudian sebagai penghapus terhadap ketentuan  hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih dahulu.
Para muhadditsin memberikan ta’rif ilmu itu secara lengkap ialah:
هوالعلم ااذ ي يبحث عن الاحاديث المتعارضة التلى لايمكن التو فيق بينها من حيث الحكم على بعضها باء نه ناسخ, وعلى بعضهاالاخر بانه منسوخ, فما ثبت تقد مه كان منسوخا وما تاخره كان ناسخا.
“Ilmu yang membahas tentang hadist-hadist yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan ketetapan yang dating terlebih dahulu disebut mansukh dan yang datang kemudian disebut nasikh” [2]
B.     Dasar – Dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh
Manna’ Al-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus). Ketiga dasar adalah:
a.       Melalui pentransmisian yang jelas (An-naql Al-sharih ) dari Nabi atau para sahabatnya, seperti hadist: Aku dulu melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah.
b.      Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh
c.       Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh, dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakangnya keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.
C.    Cara Mengetahui Proses Terjadinya Nasikh
Terjadinya proses penghapusan (nasikh) ini bisa diketahui melalui empat cara yaitu :[3]
1.      Adanya penjelasan langsung dari syari’ yaitu Rasulullah. Contohnya sebagaimana hadits tentang pelarangan ziarah kubur yang dihapus dengan perintah melakukannya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ القُبُورِ
Bahwa Rasulullah SAW. melaknat para perempuan peziarah kubur.” (HR. Turmudzi)

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ القُبُورِ، فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ، فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الآخِرَةَ.
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, bahwa: “Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya aku pernah melarang kalian ziarah kubur, sungguh telah diizinkan bagi Muhammad untuk menziarahi kubur ibunya. Maka sekarang ziarah kuburlah. Sebab dengan ziarah kubur itu akan membankitkan kesadaran akan kehidupan akhirat.” (HR. Turmudzi)
2.      Adanya penjelasan dari sahabat Nabi tentang terjadinya nasikh, seperti hukum pembatalan wudhu saat memegang api yang dijelaskan oleh Jabir bin Abdillah.
عن ابي هريرة قال إِنَّمَا أَتَوَضَّأُ مِنْ أَثْوَارِ أَقِطٍ أَكَلْتُهاَ لِأَنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلُ الله صَلىَّ الله عَلَيْه وَسَلَّم يَقُوْلُ تَوَضَّئوُا مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Sesungguhnya aku berwudhu, karena telah makan sepotong keju, Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Berwudhulah kalian karena makan sesuatu yang telah dimasak.” (HR. Muslim)

عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: «كَانَ آخِرَ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا غَيَّرَتِ النَّارُ»
Diriwayatkan oleh Jabir, bahwa: “Adalah di antara dua perbuatan Rasulullah SAW. ialah tidak berwudhu setelah makan sesuatu yang berubah karena dimasak.” (HR. Abu Daud)
3.      Melalui penelusuran sejarah keluarnya hadits, sebagaimana hadits Syaddad bin Aus yang menjelaskan pembatalan puasa bagi orang yang bekam dan yang membekam. Hadits ini muncul pada peristiwa penaklukan kota Mekkah kemudian di nasikh oleh hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi melakukan bekam, sedang beliau dalam keadaan ihram dan puasa, dan itu terjadi pada peristiwa haji wada’.
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ.
Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij, bahwa: Rasulullah SAW. bersabda “Batal berpuasa bagi orang yang membekam dan yang dibekam.” (HR. Turmudzi)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ، وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ»
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Nabi SAW. berbekam sedang beliau dalam keadaan berihram dan berpuasa. (HR. Bukhari)
4.      Petunjuk ijma’ atau konsensus ulama’ sebagaimana hukum cambuk bagi peminum minuman keras yang jika mengulangi sampai empat kali maka dibunuh. Menurut An-Nawawi, ijma’ menunjukkan terjadinya nasikh. Ijma’, katanya, tidak bisa menghapus dan tidak bisa dihapus. Akan tetapi, ia hanya menunjukkan adanya nasikh didalamnya.
D.    Syarat - Syarat Nasakh
1.      Adanya mansukh (yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah         berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat ataudibatasi dengan waktu tertentu.
2.      Adanya mansukh bih (yang digunakan untuk menghapus) dengan syarat datangnya dari syari’ (Rasulullah saw).
3.      Adanya nasikh (yang berhak menghapus), dalam kaitan ini yaitu Rasulullah saw.
4.      Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu adalah orang-orang yang sudah akil baligh atau mukallaf). Karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus atau yang dihapus itu adalah tertuju pada mereka.
            Sedangkan ‘Abd ‘Azhim al Zarqany mengemukakan bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila :
a.                Adanya dua hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.
b.               Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan dari      pada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.
c.                Harus diketahui secara meyakinkan perurutan penukilan hadits-hadits tersebut       sehingga yang lebih dahulu dinukilan ditetapkan sebagai mansukh dan yang         dinukilkan kemudiaannya sebagai nasikh
E.     Bentuk Nasakh Yang Berkaitan Dengan Hadits
1.      Nasakh Hadis Dengan Hadis
Ulama Usul al-Fiqh sepakat mengatakan hadis boleh dinasakhkan dengan hadis, yaitu mutawatir dengan mutawatir, mutawatir dengan masyhur dan mutawatir dengan ahad. Contohnya ialah hadis larangan menziarahi kubur dan menyimpan daging korban. Larangan-larangan ini pada mulanya thabit dengan hadis dan hadis sendiri yang membenarkannya. Oleh itu, nasakh ini dikatakan nasakh hadis dengan hadis.[4]
2.      Nasakh Hadis Dengan al-Qur’an
Kebanyakan ulama termasuk ulama Zahiriyyah mengakui adanya nasakh hadis dengan al-Qur’an. Walau bagaimanapun, Imam al-Syafi’i tidak menerimanya. Jumhur berhujah bahawa nasakh seperti ini memang berlaku dengan mengemukakan contoh perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka`bah. Sembahyang dengan mengadap ke arah Baitul Maqdis sememangnya thabit tetapi dengan hadis bukan al-Qur’an. Al-Hazimi mengemukakan satu riwayat daripada al-Barra’ bin `Azib:

ان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان اول ماقد المد ينة نزل على احداده من الاء نصاروانه صلى قبل بيت المقد س سته عشر شهرا اءوسبعه عشر شهر.

Daripada al-Barra’ bin `Azib bahawa perkara yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. apabila sampai di Madinah ialah menemui datuk neneknya dari kalangan Ansar dan baginda bersembahyang mengadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan.
Hadis ini telah dinasakhkan oleh ayat yang artiny:
Sesungguhnya Kami sering melihat mukamu mengadah ke langit, maka sesungguhnya Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu kr arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. (Surah al-Baqarah: 144)
3.      Nasakh al-Qur’an Dengan Hadis
Jumhur ulama termasuk Zahiriyyah mengharuskan nasakh hadis dengan al-Qur’an sementara Imam al-Syafie mencegahnya. Bagaimanapun golongan Hanafiyyah hanya mengharuskan nasakh al-Qur’an dengan hadis mutawatir dan masyhur kerana ianya tersebar luas di kalangan manusia. Golongan yang mengharuskannya berhujah dengan ayat wasiat kepada ibu bapa dan kaum kerabat.
Diwajibkan ke atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapa dan kaum kerabat secara ma`ruf, ini adalah kewajipan atas orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah:180)
Ayat ini telah dimansukhkan dengan hadis:

عن ابي امامة, قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسم يقو ل: " ان الله قد أعطى كل ذي حق حقه, فلا وصية لوارث" ابو داود

Daripada Abu Umamah, katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya Allah s.w.t. telah menentukan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan hak masing-masing. Dengan itu, maka, tidak ada wasiat untuk waris (orang yang berhak menerima pusaka).”
Tetapi golongan yang tidak mengharuskan bentuk nasakh ini menjawab bahawa ayat wasiat itu sebenarnya dinasakhkan oleh ayat mawarith yaitu ayat 11 surah al-Maidah sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Abbas.[5]
4.      Apakah Semua Hadis Yang Dimansukhkan Itu Dipersetujui Oleh Semua
Oleh kerena penentuan nasakh merupakan perkara yang diijtihadkan, tentu sekali ada perbedaan pendapat ulama dalam menentukan sesuatu hadis itu dimansukhkan ataupun tidak. Tidak semua hadis yang dikatakan sebagai telah mansukh dipersetujui oleh semua pihak. Walau bagaimanapun terdapat juga, hadis yang disepakati oleh ulama sebagai mansukh. Dalam hal ini, Dr Yusuf al-Qaradhawi menyebut: “Banyak hadis yang didakwa sebagai telah dimansukhkan tetapi setelah dikaji ia tidaklah dinasakhkan. Ada hadis yang berbentuk `azimah dan ada pula yang berbentuk rukhsah. Kedua bentuk ini mempunyai hukum masing-masing pada tempatnya. Terdapat sesetengah hadis yang berkaitan dengan keadaan tertentu dan hadis yang lain pula berkaitan dengan keadaan yang lain, maka perbedaan keadaan itu bukan menunjukkan nasakh.



[1] Manna’ al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits cet. 1 (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005) hlm. 127
[2] Fachtur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1974) hlm. 331
[3] Masyruri Mochtar, Kamus Istilah Hadis (Pasuruan: Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren Sidogiri. 1435 H), hlm. 316.
[4] Zuhaili, Ilmu Usul al-Fiqh al-Islami, jilid 2. Hlm. 967
[5] Zuhaili, Ilmu Usul al-Fiqh al-Islami, jilid 2. Hlm. 971

Tidak ada komentar:

Posting Komentar